Selamat Hari Santri Nasional. Inilah sepenggal kisahku ketika menjadi santri tiga tahun lamanya.
Apa yang kalian bayangkan begitu mendengar nama pondok pesantren ?
Tujuh tahun yang lalu, aku sempat memasuki dunia pesantren. Nama pesantren itu adalah Pondok Pesantren Ibnul Qoyyim Putri, yang terletak di Jl. Wonosari km. 8,5 Yogyakarta, tepatnya di Dusun Gandu, Sendangtirto, Berbah, Sleman. Pondok pesantren (pontren) itu menjadi destinasiku untuk mempelajari ilmu agama sekaligus melanjutkan studi SMA. Sebab selain masih di lingkup Yogyakarta, pontren itu bagus kualitasnya. Kompleks pontren itu terdiri dari madrasah tsanawiyah/aliyah (setingkat SMP/SMA) Ibnul Qoyyim Putri dan asrama khusus santri putri.
Berbicara lebih dalam tentang motivasiku masuk pontren, aku sebetulnya juga ingin mencari suasana sekolah yang baru. Hari-hari yang baru, teman-teman baru, dan kisah-kisah yang baru.
Aku sempat terkejut saja ketika diberitahu ternyata masih ada orang tua di luar sana yang beranggapan bahwa pontren adalah tempat pengasingan bagi anak yang kurang berkepribadian alias nakal. Dengan tujuan agar si anak bisa berubah menjadi sholeh. Tekadang orang tua melakukan itu dengan paksaan, tanpa tahu apa yang benar-benar menjadi kehendak anak. Walaupun niatnya baik agar anak terikat dengan ilmu agama, menurutku niat itu belum benar. Sebab alih-alih membuat pontren tekesan istimewa, justru membuatnya terlihat seperti penjara.
Pendidikan Madrasah di Pondok Pesantren
Tingkatan kelas di madrasah terdiri dari 1-6 KMI (Kulliyatul Mu’allimat al-Islamiyah). KMI, begitulah kami biasa menyebutnya. Kelas 1-3 KMI untuk menyebut kelas VII-IX MTs dan 4-6 KMI untuk menyebut kelas X-XII MA. Waktu aku masuk ke Madrasah Aliyah pada 2012, angkatanku masih merangkap 4 KMI sekaligus kelas takhassus. Sejatinya takhassus adalah sebutan untuk kelas khusus selama 1 tahun untuk belajar Bahasa Arab, Bahasa Inggris, dan keagamaan, sebelum memasuki tingkat berikutnya. Oleh karena itu, kami sedikit lebih ekstra dalam belajar. Tapi sekarang, aku dengar kelas itu sudah dipisahkan. Dalam artian, bagi santri yang ingin memasuki Madrasah Aliyah, harus mau bersekolah selama 4 tahun. Tahun pertama di kelas takhassus, baru kemudian masuk MA selama 3 tahun.
Pontren Ibnul Qoyyim Putri itu luar biasa. Selain memberikan ilmu agama, juga menerapkan bilingual weeks. Yaitu dalam kesehariannya santri diwajibkan untuk berbicara Bahasa Arab dalam satu pekan, dan Bahasa Inggris satu pekan. Begitu seterusnya. Santri tidak diperbolehkan menggunakan Bahasa Indonesia atau bahasa daerah. Bagi yang memakai bahasa terlarang itu, mesti siap-siap kena hukuman.
Untuk mendukung program itu, setiap selesai jamaah salat Subuh santri mendapatkan pelajaran mufrodat/vocabularies (kosa kata) dari mudabbirah (semacam OSIS) atau dari ustadh/ustadhah.
Di pelajaran madrasah, tata bahasa Arab & Inggris dan segala penunjangnya masih diajarkan lagi. Terutama pada Bahasa Arab, terdiri dari pelajaran Tamrin Lughah (Bahasa Arab untuk pemula), Muthala’ah (terdiri dari bacaan atau cerita), Imla’ (mengeja/menuliskan kata yang diucapkan ustadz), Mahfudhot (kata-kata bijak/peribahasa), Nahwu & Shorof (tata bahasa Arab), dan terakhir yang menurutku yang paling sulit; Balaghoh (semacam ilmu untuk memahami bahasa kias dalam Sastra Arab).
Jadi di madrasah, total mata pelajaran kami lebih banyak dari sekolah pada umumnya. Karena selain mendapatkan pelajaran umum/akademik, kami juga mendapatkan pelajaran agama, bahasa, kepondokan, ekstrakurikuler, dan kepramukaan.
Lalu bagaimana saat ujian semester? Ya. Tentu saja lebih banyak dan lama. Apalagi ada ujian lisan/praktik dan ujian tulis. Tiga hingga empat hari untuk ujian lisan/praktik mencakup ujian ibadah, Bahasa Arab, dan Bahasa Inggris. Itu saja bisa sampai malam hari apabila sang ustadh atau penguji belum puas dengan jawaban kami. Sementara ujian tulis dilakukan setelahnya hampir satu minggu lebih.
Begitulah, tapi kami selalu mampu menghadapi hingga kami berhasil lulus dari pontren. Kami selalu ingat bahwa Allah tidak akan menguji hambanya kecuali sesuai dengan kemampuannya
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (Al Baqarah ayat 286)
Seperti Apa Kehidupan di Pondok Pesantren?
Satu kata yaitu SERU.
Awal-awal masuk pesantren memang berat, karena aku harus bisa beradaptasi dengan lingkungan baru dan teman-teman baru. Asrama pontren yang berlantai dua dan bercat warna biru itu setidaknya memiliki 16 kamar (hujrah) yang dinamai dengan nama-nama istri Nabi atau perempuan tangguh. Masing-masing kamar bisa ditempati sekitar 22 santri. Aku pertama kali mendapatkan kamar Maisaroh, bergabung dengan santri baru dan santri lama yang terdiri dari anak MTs dan MA. Mereka pun berasal dari penjuru Indonesia, jadi aku harus bisa mengenal karakter mereka.
Selalu ada drama ditiap awal perjumpaan. Santri baru yang belum terbiasa hidup mandiri dan harus menaati peraturan pesantren, mudah sekali merengek dan minta dipulangkan karena tidak kerasan. Yang lainnya masih ada yang membawa kebiasaan lamanya seperti mengompol dan pura-pura sakit. Ada juga yang masih suka ngiler dan sulit dibangunkan. Biasanya mereka itu anak-anak yang baru ingin masuk MTs. Aku sendiri bagaimana? Dengan sok-sok kalem aku perlahan mengimbangi kehidupan pontren, walaupun hatiku berontak tidak karuan.
Tapi bukan pontren namanya jika kami melakukan apa-apa sendirian. Kebersamaan di setiap aktivitas kami membuat segalanya jauh lebih mudah. Kami makan bersama-sama, mencuci baju bersama, kerja bakti bersama, jajan bersama-sama, belajar sampai larut malam bersama, membaca Al Quran bersama, pokoknya dalam suka duka kami tetap bersama-sama. Bahkan terkadang kami bisa sakit bersama-sama, ketiduran di kelas bersama, telat masuk sekolah bersama, dan dihukum bersama. Hahaha.. Disaat-saat itulah kami paling merasakan adanya saudara dan keluarga baru yang membersamai hidup kita.
Karena tidak bisa dipungkiri, setiap santri pasti rindu dengan orang tua dan kampung halamannya. Sedekat dan sejauh apapun jaraknya. Niat kami hanya ingin menjadi santri yang berhasil yang kelak bisa membahagiakan mereka dan berguna bagi bangsa dan agama.
Ini dia rutinitas yang dilakukan santri selama yang masih bisa ku ingat.
– Jamaah salat Subuh.
– Kelas mufrodat/vocabulary (pengajaran kosa kata).
– Tahfidh & muroja’ah Al Qur’an (hafalan dan setoran hafalan ke ustadhah pembimbing).
– MCK.
– Piket lingkungan asrama & madrasah, atau piket kelas.
– Makan pagi.
– Sekolah. Break pertama pada pukul 9:00 – 9.15 WIB, kedua pada waktu salat Dhuhur berjamaah. Sekolah berakhir pukul 13:30 WIB.
– Makan siang.
– Waktu luang. Bisa digunakan untuk istirahat, mencuci baju, mandi, dan lainnya.
– Jamaah salat Asar.
– Ekstrakurikuler/waktu luang. Seminggu sekali ada ekstrakurikuler wajib pramuka.
– Piket lingkungan.
– MCK.
– Jamaah salat Maghrib.
– Tadarus Al Quran.
– Jamaah salat Isya’.
– Makan malam.
– Jam wajib belajar. Santri harus meninggalkan asrama untuk belajar di kelas atau masjid. Terkadang jam ini dipakai untuk muhadhoroh (latihan pidato) atau acara lain yang sudah disepakati.
Rutinitas ini berlangsung setiap hari. Kecuali pada bulan Ramadhan, kegiatan santri sedikit berkurang.
Di pontren kami belajar hidup mandiri dan sederhana. Tapi yang ingin bermewah-mewahan pun boleh-boleh saja, selama itu tidak melanggar peraturan pontren. Hal yang paling meringankan menurutku adalah tentang konsumsi kami sehari-hari. Kami tidak perlu repot-repot memasak dan menyiapkan makanan, karena itu sudah menjadi tugas ibu dapur. Makan tiga kali sehari, menu pun juga selalu enak dan bervariasi.
Setelah berhasil melalui tahun pertama di pesantren, maka kedua tahun berikutnya menjadi lebih ringan. Terutama masalah komunikasi dengan kedua bahasa wajib. Kami sudah bisa lebih mahir, juga mengenai segala macam peraturan pun kami sudah lebih kebal dan paham.
Aku bisa menyangkal jika ada yang mengatakan bahwa kehidupan pesantren itu sangat membosankan. Kami tidak serta merta dikurung dan dibatasi dalam setiap laku. Kami benar-benar dijamin bisa mengikuti pelajaran dan bimbingan. Apalagi pengembangan minat dan bakat kami juga diperhatikan dengan adanya wadah ekstrakurikuler. Ada banyak jenis ekstrakurikuler yang bisa kami pilih untuk menyalurkan bakat; KIR, basket, hadroh & nasyid, kaligrafi, keterampilan, English club, dan lain-lain.
Aku sendiri bergabung dengan Calligraphy Club yang dimentori Ustadh Bagus Subekti. Kaligrafi aku pilih sehubungan dengan hobiku membuat doodle dan rasa cintaku terhadap kesenian. Ustadz Bekti yang paling jenaka tapi tegas itu berperan banyak dalam pembelajaranku. Karenanya aku juga sempat mengikuti lomba kaligrafi dan berhasil mendapat juara. Selain kaligrafi, aku juga mengikuti tim jurnalistik yang anggotanya sangat terbatas. Kami dipercaya untuk meliput acara pontren dan menulis beritanya di website pontren. Alhamdulillah, sebelumnya aku sudah memiliki sedikit ilmu tentang kepenulisan. Sehingga bagiku kesempatan ini adalah bagian dari improvement. Harus ku akui bahwa kaligrafi dan jurnalistik juga lah yang membuatku lebih enjoy berada di pontren.
Pada bulan-bulan tertentu kami juga mengikuti kegiatan menarik seperti pekan olah raga, art show kecil-kecilan, pengajian akbar, panggung bahasa untuk pemilihan Queen of Languages (santri yang paling mahir berbasa wajib), lomba nasyid/drama, lomba fashion show, menonton film, kemah, dan lain-lain.
Banyak hal yang aku sukai selama tinggal di Pontren Ibnul Qoyyim. Teman-teman, ustadh/ustadhah, suasana lingkungan yang tenang dan konduksif untuk belajar… Dan tentu saja yang paling menggembirakan: perpulangan atau liburan semester. Kami bisa pulang ke rumah untuk melepas rindu dengan keluarga dan kampung halaman, menikmati liburan, dan berbaur lagi dengan tetangga kami.
Tapi pasti ada juga yang tidak aku sukai selama tinggal di pontren. Huh. Apa itu?
Pertama, latihan pidato atau yang biasa disebut muhadhoroh. Biasa dilakukan seminggu dua kali setelah jamaah salat Isya’. Kami dibagi menjadi kelompok-kelompok yang dipandu 2 orang mudabbiroh. Setiap dari kami pasti mendapat giliran maju pidato, sesuai jadwal yang sudah ditetapkan di awal pertemuan muhadhoroh. Sebelum maju kami sudah menghafal teks pidato. Jika pidatonya menggunakan bahasa Indonesia maka itu tidak masalah bagiku. Tapi jika dengan Bahasa Arab dan Bahasa Inggris? Bahasa Inggris masih lumayan. Tapi jika dengan Bahasa Arab, itu sangat tidak sesuai dengan kapasitasku.
Kedua, mahkamah atau pengadilan yang berlangsung setelah muhadhoroh. Mudabbiroh akan memanggil nama-nama santri yang masuk mahkamah ke lapangan pontren. Hukumannya bisa berupa lari keliling lapangan, tangan dipukul dengan sajadah, dijemur dengan papan perjanjian pada keesokan harinya, atau membersihkan toilet. Jika tergolong pelanggaran berat, bisa dikenakan hukuman memakai himar (jilbab) pelanggaran yang warna atau motifnya mencolok. Khusus mahkamah bagian bahasa, bisa mendapat hukuman jasus atau memata-matai santri lain yang tidak menggunakan bahasa wajib.
Ketiga adalah barang-barang milik sendiri yang diambil santri lain. Kami biasa menyebut perilaku itu dengan ghosob. Ini bukan perkara yang perlu ditutup-tutupi, karena menurut cerita memang tiap pontren ada tukang ghosobnya. Hahaha.. Biasanya yang dighosob adalah sandal yang berserakan di depan kamar atau masjid. Atau terkadang himar atau ember cuci yang pasti dimiliki tiap santri. Ada-ada saja yang diincar pelaku ghosob, bahkan pasta gigi pun bisa diambil. Astaghfirullah…
Keempat, santri kesurupan. Beberapa santri yang mempunyai bawaan indigo sering mengalami kesurupan hingga satu asrama menjadi panik dan geger. Aku sendiri sering dipanggil untuk ikut menangani mereka yang kesurupan.
Walaupun dahulu itu semua adalah hal yang sangat mengesalkan, kini berubah menjadi hal yang paling menggelikan untuk diceritakan.
Sekarang yang paling penting, tugas kami adalah membagikan ilmu yang sudah kami dapat untuk disebarluaskan kepada masyarakat. Berdakwah sesuai kemampuan dan cara kami masing-masing.
Sekali lagi, Selamat Hari Santri Nasional!
Kok aku ngga asing ya nama pesaantrennya? Kalo gaksalah dulu aku pernah ikut pesantren kilat waktu SMP di pesantren dengan nama yang sama, tp untuk alamatnya aku udah lupa karena itu udah 10taun yang lalu :”
Aku selalu penasaraaan sih soal kehidupan pesantren itu kyk gimana, soalnya keluarga besar ayahku rata2 pada lulusan madrasah tapi aku dulu gapernah disekolahin di madrasah, yaa walaupun kalau disuruh juga dulu ga akan mau sih soalnya bayangnya udah yg jelek jelek gitu (bosenin, apa apa dilarang, gabisa bebas ini itu dll). Padahal yaa there must be something good about it kan ya, seperti apa yang kamu ceritakan disini 🙂
Hihi makasi yaaa sudah menulis cerita ini. Now I know a glimpse of how it feels like to study and life there 🙂
LikeLiked by 1 person
awww thanks udah baca.. ya sih kak memang pandangan orang ttg pesantren itu beda-beda.. tapi pesantren seru seru aja kok.. emang kalau kita dari awal mikirnya ga bakal betah, ya ga bakal betah beneran..
ini aku juga nyoba2 sih kak (tapi hasilnya bagus).. sebelumnya aku sekolah di negeri terus, ya bisa dikata sekolah fav. lah.. pas bbrp ustadhah tau jg mereka tanya2 knp kok aku ga nglanjut di SMA negri aja.. keluargaku jg ga ada satupun yg pernah studi di pesantren, cuma aku.. haha..
sama-sama kakak 🙂
LikeLike
Yang menginspirasimu untuk masuk pesantren apaan rahma? Selain yaa pengen dapet suasana baru + temen baru seperti yang kamu tulis diatas. Apalagi kalo dr pihak keluarga sebelumnya gak ada yang sekolah di pesantren? 🙂
Heheh maapkan aku yang penasaran. Soalnya yaa bagiku keren ajasih org org yang emg mutusin bwt mondok pesantren gituuuu.
LikeLiked by 1 person
awalnya karena aku pernah ikut pesantren kilat. seneng gitu tinggal bareng2 sama temen baru, suasana baru, apalagi aku lumayan cepet lah bisa adaptasinya.. terus diajarin bahasa arab. pingin aja gitu nerusin jadi santri. apalagi sama keluarga juga didukung. kebetulan papa dan kakek pengurus muhammadiyah jg, suka cerita kalo anak2 temennya sekolah di pesantren.. lampu hijau bgt.. tapi mama sempet keberatan sih.. pake drama2 gitu dulu.. ga boleh anaknya merantau.. 😆 padahal juga masih di wilayah jogja..
LikeLike
aku dulu selesai MTs ga mau mondok, sekarang pas udah gede malah pengen ngerasain. tapi yasudahlah, sudah lama terlewati. 😆
LikeLiked by 1 person
hahahah… 😆 siapa tau anak-anak yang mau dipondokin..
LikeLike
semoga nanti anak-anaknya pada mau 😆
LikeLiked by 1 person
Ibnul Qoyyum Jalan Wonosari, sek-sek, koyone aku tau ngerti iki nggone.
Cedak nggonku pijet kesleo koyone wgwgw 😀
Keren yaaak, anak pesantren pada masaanyaaa 😀
LikeLiked by 1 person
Oh yaaa mungkin.. denger2 sih emang ada tempat pijat di sana hahaha..
LikeLike
Whaaaiya, berati memang benar 😀
LikeLike
hoo, jadi teteh Rahfri ini santriwatiii…
dulu kalau mandi ngantrinya jejerin tempat sabun gaakk? wkwkkk
ka rahfri kaligrafi arabnya kece dongg? Ih saya loh 6 tahun belajar khat tapi tulisan yo ngono-ngono wae… 😦
LikeLiked by 1 person
iya kang. wkwk.. bukan tempat sabun tapi emberrrr… aseeq dah pokoknya.
kaligrafi saia juga gitu-gitu aja sebenernya, ga ada faktor x nya sama sekali. cuma suka nebeng di club terus kalo ada lomba atau mini art show ya suka nebeng aja terus.. buat menuhin kuota wkwk
LikeLike
Gitu-gitu aja tapi jadi pengajar kaligrafi dong. Apaqa ini definisi merendah untuk tinggi? Yang kalau versi santrinya dulu gini nih kalo gak salah:
تواضع تكن كالنجم لاح لناظر # على صفحات الماء وهو رفيع
Wanjayy, serpihan2 mahfuzat yang masih ingat. yang laennya lupa udah, hahahaa
LikeLike
ditantang buat ngajar karena ga ada yg laen, alias mereka yang keususahan nemu guru kaligrafi… wkwk #mulaisombong saiia ga ada apa2nya kalo sama antum, yg pasti uda lebih jago 🐓 wa mahir
LikeLike