Pagi tadi seorang teman mengirimiku pesan WhatsApp yang berisi gambar bertuliskan lima judul buku. Temanku ini bernama Hanif, cewek yang usianya setahun lebih tua dariku. Ia kembali tinggal di Lombok setelah sebelumnya menetap empat tahun di Jogja. Hanif pencinta buku, termasuk orang yang gemar membeli buku, tapi ironisnya nyaris tak pernah membeli buku di Lombok, yang mana adalah tanah kelahirannya sendiri. Jarak yang harus ditempuhnya menuju toko buku begitu jauh, dan harga buku yang terlampau tinggi (ia sedang membandingkannya dengan harga buku-buku yang dulu ia beli di Jogja) mengharuskannya menemukan ide cemerlang. Ia tidak ingin memikirkan membeli buku lewat online bookstore. Sehingga, apa yang ia kirimkan padaku pagi tadi adalah isi dari idenya itu.
Ini bukanlah pertama kalinya ia meminta tolong padaku untuk membelikan buku-buku yang judulnya sudah ia tabung dalam wish list. Terhitung ini sudah yang keempat kalinya. Meskipun demikian, aku bukannya perhitungan atau enggan untuk membantu teman sendiri. Aku justru mendukung idenya dan sama sekali tak merasa direpotkan tiap kali ia mengirim pesan yang nadanya sama. Aku bisa mengetahui buku-buku yang disukainya, sekaligus jika buku itu cukup menarik bagiku, aku juga akan ikut membelinya.
Alasan Hanif membeli buku jauh-jauh dari Jogja ternyata tak hanya karena lebih murah dan mendapat subsidi ongkir setengah. Tak hanya karena toko buku yang kupilih adalah toko buku langgananku yang selalu bagi diskon bertubi-tubi (akumulasi dari harga buku yang didiskon masih didiskon lagi). Hanif beralasan bahwa ia memilih Jogja sebab aku ada di tempat ini, tempat yang paling ia rindukan sejak kepergiannya dari sini. Ia ingin bisa terus keep in touch denganku, walaupun—menurutnya, harus dengan cara membuatku mondar-mandir untuk membeli dan mengirim buku. Dari sini aku juga bisa menangkap sinyalnya, bahwa ia berharap aku selalu bisa menjadi perantara untuk menghubungkan hatinya dengan Jogja.
Aku jadi teringat semasa Hanif masih studi di Jogja. Ia mengajakku ke shopping centre (pusat buku murah, katakanlah) yang terletak di samping Taman Budaya Yogyakarta ketika hari libur. Aneh, aku bilang. Maksudku, ia bisa pergi ke Gramedia atau Toga Mas yang lebih dekat dengan tempat kostnya. Tapi alasannya justru lain. Baginya keberadaan shopping centre itu menjadi nilai plus yang melengkapi tempat-tempat wisata di sekelilingnya; Taman Pintar, Taman Budaya Yogyakarta, Kawasan Titik Nol, Monumen SO 1 Maret, Museum Benteng Vredeburg, Pasar Beringharjo, dan Malioboro sendiri. Siapa yang mengunjungi shopping centre sudah pasti bakal berselfie ria di Kawasan Titik Nol, lalu berjalanan menyusuri Malioboro. Seperti itulah jalan pikirannya, dan aku menghargai pernyataannya yang pasti membuat Jogja berbunga-bunga.
Setelah Hanif mengirim pesannya dan aku menyetujuinya, kemudian ia meneleponku barang sejenak. Ia hanya ingin mengucapkan terima kasih. Tapi pada akhirnya ia mengeluarkan suara kecemburuan dari dalam hatinya,
“Eh, sekarang lagi ada pameran buku ya di Jogja? Enak banget, sih. Masa pameran buku nyampe setengah bulan, ada talkshownya lagi.”
Dia masih nyerocos,
“Enak banget ya, kalau stay di Jogja?! Banyak pameran buku, acara literasi bulanan, penerbit sama penulis juga banyak yang stay di Jogja. Terus kalau beli buku juga nggak perlu mikir ongkir,”
Aku yakin kalau kami mengobrol lewat pesan teks, ia akan menambahkannya dengan bubuhan kata KANGEN tiga puluh tiga kali.
Terima kasih, Hanif. Kau telah mengabadikan pertemanan kita dan mengapresiasi Jogja dari sudut pandang yang berbeda. Bagaimanapun, Jogja ini pernah menjadi Jogjamu—Jogja kita bersama. Kelak kau akan datang kembali, menyatukan kerinduanmu denganku dan kota ini.
12 Februari 2020
Mantrijeron, Yogyakarta
Malioboro ya?
LikeLike
iya kak nunu
LikeLike
pamerannya dimana mba? insyaAllah mau kejogja
LikeLike
Di jalan beo no. 38 demangan baru. Daerah sleman jogja. Gede-gedean itu pameranny kak, sampai tanggal 16 besok. coba cek insta @perang_cinta.
LikeLiked by 1 person
makasi mba rahma 🙂
LikeLiked by 1 person
siaap sama² 👍
LikeLike
Kata penyair jogja terbuat dari rindu. Makanya banyak orang suka jogja. Selain itu jogja juga salah satu pusat spiritual. Pernah jadi titik peradaban. Makanya siapa yang punya energi/ rasa belajar bakal mudah ketarik ke jogja 😁😁 jogja juga sebutannya kota pelajar 😁😁
LikeLiked by 1 person
Ya begitulah.. banyak sekali sebutan dan anggapan untuk kota ini. 😁 Tapi untuk sebutan yang terakhir itu, saya berdoa semoga tidak luntur. 😁🙏
LikeLiked by 1 person
Setelah pulang ke Lombok, saya lagi-lagi akan merasakan hal yang sama seperti yang Hanif rasakan 🙂
LikeLiked by 1 person
Jogja memang berat untuk dilupakan.
*Eh, stay di Jogja kah Bang Ical? 😁
LikeLiked by 1 person
Di Malang, Frida 🙂 Tapi untuk buku dan budaya, Jogja memang sulit dicari bandingannya. Berkali-kali ke Jogja, saya merasakan kenyamanan luar biasa 🙂
Tapi, Malang yang tidak semegah Jogja saja sudah begini mudah mengakses buku. Sudah bikin sebelah hati merasa berat bila harus pulang ke Lombok 🙂
LikeLiked by 1 person
Malang juga kota yang asyik. Dan benar, buku-buku atau pameran buku mudah sekali ditemukan di sana. Saya dengar di Lombok pun ada shopping centre 😁
LikeLiked by 1 person
Shopping centre untuk buku? Belun, belun ada. Yang rutin bikin bazar buku bagus ya pegiat literasi dan sastra saja 🙂 Di sana ada baru ada Gramedia beberapa tahun belakangan. Ada toko buku murah sebelumnya, namanya Airlangga, tapi sekarang buku-bukunya kurang update dan sama mahalnya dengan Gramedia (kadang lebih mahal). Sama toko-toko buku kecil lain—sama sekali tidak banyak 🙂
LikeLiked by 1 person
Wah berarti bukan teman dari Lombok yang cerita. Sayang sekali ya harus ada perbedaan harga dan sedikit ketimpangan begitu, padahal kita semua sama-sama butuh buku. Entah wilayah kita ciri khasnya apa, tapi pasti ada masyarakat yang butuh buku. Semoga ada solusi ke depannya 🙏🙏
LikeLiked by 1 person
Moedah-moedahan. Thank you, Frida 🙂
LikeLiked by 1 person
Duh solo jogja deket..tp akhr2 ini jarang kesana
LikeLike
Berarti tetanggaan nih 😄😄😃
LikeLike
Waktu kuliah tingkat 1, Shopping jadi andalan buat beli textbook yang tebel. Harganya jauh lebih murah ketimbang di Togamas (meskipun nggak tau juga ori apa bajakan. Hehehe). 🙂 Koleksi paling berharga yang saya dapet di Shopping itu beberapa jilid Balada si Roy cetakan lama. Sampai sekarang pun kalau ke sana tetap mata saya jelalatan nyari 3 seri yang masih belum komplet. 😀
LikeLiked by 1 person
Waah berkesan banget 😄😄😄 Saya juga kalo nyari buku kuliah di sana, tapi kadang di daerah Terban. Sama-sama murah.
LikeLiked by 1 person
Oh, iya. Yang di Terban hehehe…. Udah lama nggak lewat depan SMA 6, nih, sejak jalan di Terban searah. Masih ada nggak ya itu? 😀
LikeLike
Masih kak 😁😁 maen maen ke sini lagi Kak nanti kalau situasi sudah membaik 😁
LikeLiked by 1 person
Uuuh… Jogja dengan shopping center nya emang paling lejen. Pernah menjelajah cari buku di sini, menyenangkan. Surga 😀
Kangen mblusukan euy ke sana lagi
LikeLiked by 1 person
Surga banget emang hehehe.. entar maen maen kesini lagi kak kalo coronanya udah pergi 😁😁
LikeLike
Terakhir ke Jogja bulan November lalu, jelajah candi dan berburu senja 😁
Pasti main ke Jogja lagi yes
LikeLiked by 1 person
Wah seru… Agendakan ke museumnya ya kak hehehe..
😄👍👍
LikeLike
A great story! Semoga persahabatan kalian akan abadi ya
LikeLiked by 1 person
Amin 🙏🙏 terima kasih banyak.
LikeLike
Jogja selalu ngangenin.
https://mwkusuma.wordpress.com/2013/10/11/rindu-jogja/
salam kenal, mampir ya ke blogku
LikeLiked by 1 person
salam kenal balik kak, terima kasih sudah berkunjung
LikeLike
Sama-sama, dulu kawasan Malioboro belum secantik sekarang. Tapi Jogja zaman itu punya Walikota yang dekat dengan seniman; Kang Hery (Herry Zudiyanto)
LikeLiked by 1 person
Jogja sama dengan rindu. #eh.
LikeLiked by 1 person
😀
LikeLike