Orang-orang Desa (2)

Ketika aku kembali, aku sudah lupa bagaimana berbicara Bahasa Jawa. Terlebih lagi melafazkan  Bahasa Jawa Krama, rasanya susah sekali. Aku sudah terbiasa berbicara dengan Bahasa Indonesia dan dua bahasa asing yang dijadikan bahasa resmi asrama, padahal orang-orang di desa berkomunikasi dengan Bahasa Jawa. Jadi, aku pun bertekad perlahan-lahan membiasakan diri lagi untuk berbahasa Jawa Krama. Di desa, bersosialisasi alias ‘srawung’ dengan masyarakat sekitar sangatlah penting, dan aku tidak ingin seolah-olah terpisahkan dari mereka. Aku juga tidak ingin dicap sebagai ‘wong Jawa ilang Jawane’ atau orang Jawa yang kehilangan ke-Jawa-annya.

Bahasa Jawa adalah pakaian, begitu kata kakekku penuh teka-teki.

Penari Gambyong. Mereka adalah gadis-gadis desa yang menari untuk menyambut dan menghibur tamu-tamu kelurahan. Mereka juga biasa menari di acara pentas seni dan pagelaran budaya lainnya.
Tempat ini adalah bagian terindah dari pegunungan yang ada di desa. Sebetulnya tempat ini bisa disulap menjadi obyek wisata yang bisa menambah pendapatan desa. Apalagi punya view yang bagus layaknya di pegunungan Imogiri. Bikers yang lewat pun sering sekali mampir ke tempat ini. Sayang sekali, niat baik masyarakat untuk memanfaatkan tanah ini masih terkendala oleh perizinan dengan tuan tanah.
Aku bilang, ini adalah progress yang baik untuk desa karena sudah tergerak untuk memperhatikan masalah ekologis. Masyarakat sudah dihimbau untuk bijak mengelola sampah. Bahkan hampir di setiap pedukuhan, ada pengelolaan sampah yang dimotori oleh para pemuda.
Di sini blangkon dibuat dengan cara manual dan tradisional. Kain tidak dilem ataupun dijahit. Lebih lagi, kain yang digunakan untuk membuatnya pun berkualitas, biasanya berbatik tulis atau cap. Satu blangkon dibandrol dengan harga yang tinggi, sesuai dengan tingkat kerumitannya. Lalu yang mengerjakan pembuatan blangkon? Ini yang paling mengesankan. Pemilik usaha blangkon memberdayakan pemuda-pemuda sekitar untuk bekerja di tempat usahanya.
Jajanan tradisional ini namanya thiwul, dibuat dari tepung singkong dan dengan rasa manis gula Jawa. Di sini dikenal sebagai makanan khas Kabupaten Gunung Kidul, DIY, walaupun juga bisa ditemukan di pasar tradisional di kabupaten wilayah DIY lainnya. Konon katanya, dahulu bentuk dan rasa thiwul ini sederhana sekali. Katakanlah, hampir menyerupai makanan bebek. Tapi sekarang, cita rasa thiwul sudah semakin enak dan bervariasi. Selain tetap menjadi jajanan khas pasar tradisional, thiwul kini juga bisa ditemukan di sentra oleh-oleh.
Ada bakwan, serabi Solo, pisang rebus, ubi rebus, dan ubi goreng. Ada nasi kucing dan bothok lamtoro juga, tapi tidak kelihatan. Waktu itu kami bekerja bakti membersihkan lingkungan, dan setelah selesai kami makan bersama.
Hari Raya Idul Adha dan penyembelihan hewan kurban semakin bermakna,  karena daging yang kami bagikan ke warga sudah tidak berbungkus plastik lagi. Kami memakai tenggok, dan untuk pendistribusiannya kami menggunakan keser (gerobak). Beberapa desa lain juga menggunakan wadah ramah lingkungan, seperti besek kecil.
Pemuda-pemudi desa yang siap sedia berjuang memajukan desa. Dengan program kerja yang inovatif dan dilaksanakan dengan maksimal, desa pasti akan lebih maju dan berdaya.
Suasana persawahan di siang hari. Saat kecil, aku suka bermain-main di sawah. Berjalan di galengan, melihat telur keong yang berwarna pink, dan mencari buah ciplukan yang tumbuh di sela tanaman padi. Jujur aku tidak menyukai buah itu, tapi karena teman-teman yang lebih dewasa memakannya, aku pun ikut-ikutan saja.
Beras organik yang dihasilkan oleh Lumbung Kampung Mataraman. Beras lebih sehat dan sudah mendapat penjaminan mutu.
Warga melakukan merti dusun, atau peringatan hari lahir/jadi dusun. Mereka membuat ambengan (sajian makanan) dan gunungan yang dirangkai dari buah-buahan, sayur-sayuran, juga umbi-umbian yang dihasilkan bumi.
Benda ini sering disebut gelek, diyan, atau senthir, yang berfungsi sebagai penerangan ketika listrik belum masuk ke desa-desa. Bagian yang menggembung diisi minyak tanah, yang menjadi bahan bakar utama senthir. Lalu di atasnya dipasang benang sumbu yang memanjang hingga mencelup minyak tanah. Bagian paling ujung adalah benang sumbu yang sedikit menyembul, tempat api dinyalakan.
Nenek kerap bilang, tidak etis mencela makanan. Apalagi makanan yang dihasilkan oleh bumi. Ia juga kerap berpesan supaya aku tidak keseringan mengonsumsi fastfood. Lebih baik makan umbi-umbian. Sehat, tidak mengandung micin. Ya baiklah.

16 thoughts on “Orang-orang Desa (2)

  1. Kangen makan thiwul, Kak 🥺

    Alhamdulillah, senang sekali lihat packaging untuk membagikan daging kurban, sangat kreatif 😍

    Umbi-umbiannya segar sekali, bakalan enak kalau direbus 🤤

    Liked by 1 person

    1. Oh Kak Ai pernah makan thiwul ya? Waah.. saya malah ga begitu doyan haha..

      iya alhamdulillah mulai tahun ini kami pingin pakai wadah yg ramah lingkungan..

      Hehe iya kak mantap banget kalau direbus, apalagi pakai air gula jawa. 🤤🤤😋

      Liked by 1 person

      1. Pernah, tapi jarang, dan saya suka. 😃

        Alhamdulillah, senang sekali warga bersama pemuda-pemudinya kompak juga cinta lingkungan 💚

        Super mantap, Kak. Dimakan pas masih hangat 🤤🤤
        Waaah saya malah gak tau kalau pakai air gula jawa, direbus saja saya tetap doyan Kak 😁

        Liked by 1 person

      1. Mantap, saya pun senang dengarnya. 😁👍

        Ada teman saya orang asli SumBar, malah sampai mengaku sebagai reinkarnasinya orang Jawa, hanya rasa makanan yang dia suka dan karakternya sama seperti orang Jawa. Haha..

        Liked by 1 person

      1. eh, Gilangharjo itu 2018, yang 2019 di Kwagon yang malah jadi ajang tribute to mas Djaduk.. Gak tau November besok ada atau enggak dengan kondisi seperti ini… btw, Gilangharjo ada sate enak tapi lupa sebelah mana :))

        Like

      2. Ya ya.. maksud saya begitu 😄 Ohh.. saya gak ke Kwagon yg tahun 2019 kemaren. Sate di Gilangharjo? Di daerah dekat pasar bukan ya, kalau nggak di jalan dekat kelurahan Gilang…

        Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s