
Rintik gerimis menebar kasih di penghujung pagi
Mama bersandar di dada kursi rotan yang bersandar pada asa menjemput mentari
Detik berikutnya gerimis dikeraskan mega-mega
Mama menyibak buram jendela tepi lukisan berpigura pinus
Sekejap tirai bambu ditarik lentik bulu matanya
Satu tarikan tuang seribu ikhlas atas kehendak Tuhan
Aku melangkah keluar berjaket dan berpayung pelangi
“Dingin di luar. Apa perlu menemui hujan?” Mama bertanya,
“Hujan juga tentang kehangatan dan pertemuan,”
Hati mengenal musim, merawat pendar cahaya yang berganti sepanjang hari
Hingga di sudut persimpangan,
kutemukan mawar duduk tertunduk di pagar rumah Pak Kromo
Selendang dan mahkota hanyut di bawah parit berpusar
Bermandikan janji bayang hujan kembalikan nafas keabadian
Dan aku,
teringat pada mawar yang kemarin tergeletak di laci.
Mungkinkah cinta selaksa hujan, sanggup memberinya nafas keabadian?
Mantrijeron Yogyakarta, 22 Februari 2020
mengenai hujan, banyak menginspirasiku untuk menuliskan puisi
LikeLiked by 1 person
hujan punya kekuatan 🙂
LikeLiked by 1 person
katanya kandungan air hujan itu terdiri dari 1% air dan sisanya kenangan. bener gak Frid?
LikeLiked by 1 person
setauku 50% banjir 50% kenangan…
LikeLike
Banjirnya kirain di Jakarta saja
LikeLiked by 1 person
Di sini hujan deres dan bikin genangan sehari saja orang2 sebut itu banjir kak 😅😅
LikeLike
Halah masih cemen itu
Di sini udah selutut.
Lutut jerapah
LikeLiked by 1 person
*Mau ketawa tapi takut dosa
Rangorang memang suka hiperbolis ya kak
LikeLike
Tertawalah Frid, sebelum…
LikeLiked by 1 person
Sebelum tertawa itu dilarang
LikeLike
Tidurlah Frid, sebelum..
LikeLike
Sebelum bulan berubah jadi arang. 😆 *Padahal hujan
LikeLike
Haha….
Bisa ae nih, parutan kelapa
😁😁😁😁
LikeLike
*Uhuk
Parutan kepala memang asik kalo ditabur diatas klepon 😀😅
LikeLike
Nice poem, Frid. 👍
LikeLiked by 1 person
Terima kasih, Kak. 😊
LikeLike