Menjadi bagian dari masyarakat pedesaan Jawa bukanlah hal yang memalukan bagi saya. Mungkin saya pernah sakit hati ketika dibilang ‘ndeso’ atau ‘kampungan’, namun itu dulu saat pemahaman saya tentang pedesaan masih sangat dangkal. Lain halnya dengan sekarang. Bahkan kini saya pun merasa bahwa orang-orang yang pernah bilang demikian pada saya atau orang desa lainnya telah berubah pikiran. Desa pada masa sekarang telah menjadi tempat yang menyenangkan bagi mereka berekreasi dan menimba ilmu tentang kearifan lokal. Jangankan mereka, saya sebagai anak desa pun senang ketika melakukannya di desa lain.
Sejak kecil, saya dididik dalam suasana keluarga Jawa yang kental, diajari kecapakan yang orang desa wariskan, berikut tata cara srawung (bergaul) dan subasita (tata krama/sopan santun) dari segi bahasa/lisan dan perilaku. Soal menuntut ilmu, keluarga saya tidak pernah mengekang atau menghalang-halangi. Mereka bisa dikatakan modern tapi tidak meninggalkan sisi konservatifnya, cukup open minded, mengerti kesetaraan gender, dan menjunjung tinggi peribahasa jer basuki mawa beya (setiap keinginan/cita-cita itu membutuhkan biaya).

Pada tulisan kali ini, saya akan lebih banyak membahas tentang budaya srawung (bergaul) yang sangat lekat sekali dengan kehidupan masyarakat desa. Srawung juga dapat diartikan sebagai interaksi sosial, pertemuan antarindividu dalam suatu kelompok, dan media untuk saling bercerita tentang realitas kehidupan. Adanya pertemuan kelompok di masyarakat pedesaan seperti pertemuan PKK, dasa wisma, pamong praja, kelompok tani, dan karang taruna, termasuk di dalamnya acara gotong-royong dan rewang (bantu-bantu di hajatan tetangga) adalah wadah bagi anggotanya berbaur dan bergaul satu sama lain di samping mewujudkan misi kelompok mereka. Dan seperti ketentuan bergaul pada umumnya, seseorang yang tengah srawung tidak bisa lepas dari tata krama yang berlaku di masyarakat. Misalnya, orang yang lebih muda harus menghormati yang lebih tua dan menggunakan Bahasa Jawa Krama (halus) dalam berkomunikasi. Hal ini dilakukan untuk menghindarkan diri dari perilaku degsura (kurang ajar) yang ditentang masyarakat.
Para orang tua di desa saya pernah bilang, orang desa harus hidup layaknya orang desa; tahu cara srawung, mengutamakan kekeluargaan, saling tolong menolong, dan menghidupkan semangat bergotong-royong. Orang desa tidak boleh mempunyai kepribadian antisosial. Orang desa yang tidak bisa srawung dengan masyarakat dan kelompok-kelompok yang mengharuskan ia bergabung di dalamnya, sekalipun ia memiliki gelar tinggi atau kekayaan berlimpah yang tiada duanya, kemungkinan tidak mendapatkan tempat di masyarakat dan akan menemui masalah di kemudian hari. Sebagai contoh nyata, anak muda yang tidak mau bergaul dengan teman-temannya dan tidak mengikuti organisasi karang taruna sudah otomatis menjadi pembicaraan dan lambat laun akan dikucilkan. Hal paling buruk yang terjadi adalah ketika ia memiliki hajat menikah, teman-teman desanya enggan untuk datang dan menjadi sinoman (pelayan bagi tamu undangan) di acara pernikahannya. Lantas, apakah tidak berpikir untuk membuat acara pernikahan di gedung saja supaya tidak perlu memakai jasa teman-teman di desa? Ini bukan pilihan yang konyol, tapi menurut saya siksaan batin yang diterimanya akan jauh lebih berat. Ia tidak bisa berkelit dari sanksi sosial yang diberikan teman-temannya dan masyarakat di kemudian hari.
Budaya srawung yang berkembang di desa saya tidak hanya berlaku bagi masyarakat setempat, tapi juga bagi warga baru yang berniat menetap. Sebut saja, perempuan yang menikah dengan pemuda di desa saya dan tinggal di rumah suaminya. Biasanya perempuan tersebut akan diajari mertuanya untuk memulai srawung dengan cara belanja di warung, membesuk orang sakit, mengikuti pengajian, rewang, arisan ibu-ibu, dan ikut menyapu jalan desa pada hari Minggu. Dengan melakukan itu secara intens, keluarga dan masyarakat dapat lebih mengenal dan menerimanya menjadi bagian dari mereka. Sama halnya dengan orang-orang yang tinggal sementara waktu untuk tujuan tertentu, seperti mahasiswa yang melakukan KKN atau pembangunan di desa. Keberhasilan program mereka juga ditentukan oleh seberapa baik mereka bergaul dan mengambil hati masyarakat. (Omong-omong, saya memiliki banyak cerita tentang kasus ini.)
Demikianlah. Masyarakat di desa saya bisa dibilang sangat mengutamakan pentingnya srawung dalam kehidupan bersama. Srawung selalu menunjukkan kehidupan kekeluargaan kami yang sehat dan harmonis. Dengan srawung, kami dapat memecahkan masalah, menimba ilmu, berbagi cerita kehidupan yang tengah berjalan, hingga melahirkan ide untuk sebuah gebrakan baru.
Saya sendiri sebetulnya bukan orang yang aktif srawung di masyarakat jika menuruti keegoisan diri sendiri. Pergaulan saya sehari-hari (biasanya) sudah dihabiskan dengan teman-teman kampus dan orang-orang di tempat kerja, sehingga terkadang merasa malas untuk pergi ke perkumpulan di desa pada malam harinya. Namun, di sisi lain saya juga mempertimbangkan dua hal yang bakal saya sesalkan jika absen dari perkumpulan; pertama, kemungkinan tidak memperoleh informasi baru; dan kedua, tidak dapat menyampaikan aspirasi saya secara langsung. Jalan keluar yang kemudian saya tempuh sudah pasti merelakan diri untuk berangkat, dengan sedikit terpaksa yang baik, dan niat ‘yang penting muncul, yang penting srawung‘ agar bisa mengisi daftar hadir. Kederangannya tidak ikhlas, tetapi bagi saya ini adalah cara terbaik untuk menjaga keseimbangan dalam hidup bermasyarakatโ atau memang demikianlah tuntutan kehidupan bermasyarakat yang saya alami.
Untuk mengakhiri tulisan ini, saya ingin menyampaikan petuah penting dari sesepuh saya berkaitan dengan budaya srawung, yaitu ‘Srawunga karo wong sing bener‘ atau bergaullah dengan orang yang memiliki perilaku benar/baik. Sepakat dengan peribahasa Jawa yang mengatakan ‘Aja cedhak kebo gupak‘ (jangan dekat-dekat dengan kerbau kotor), yang maknanya ‘dalam bergaul, carilah teman yang baik, hindari berteman dengan orang yang tidak baik’.
Angkat pengalaman tentang nyinom dong ke depannya wkwkw
LikeLiked by 1 person
nah yang ini nihh, insya Allah nantiiii ๐๐ saya pernah punya pengalaman memalukan ttg ini wkwk
LikeLike
Siap. Ditunggu kisahnya ๐
LikeLiked by 1 person
Ah ya, saya ingat yang itu: “Aja cedhak kebo gupak!” Haha
BTW asyik ini catatan budayanya. Termasuk ‘barang langka’. ๐ธ
LikeLiked by 1 person
Hehe.. terima kasih banyak kak sudah berkenan membaca. Semoga bermanfaat ๐๐
LikeLike