Sejarah Situs Makam Gunung Tambalan

Melihat minimnya informasi mengenai sejarah Situs Makam Gunung Tambalan di internet, saya berinisiatif mengepos tulisan ini di blog pribadi agar pihak-pihak yang membutuhkan dapat mengaksesnya. Di samping itu, sebagai warga di mana situs ini berada, saya terdorong untuk turut melestarikan potensi daerah dengan cara yang bisa saya lakukan.

Mengenai proses pengumpulan data tentang situs ini sendiri, ada orang-orang hebat yang telah membersamai saya; Mbak Welly selaku pendamping desa budaya, Mas Fian, Mas Nanda, Abay, dan Dek Kiky. Kami mengunjungi situs dan menimba banyak ilmu langsung dari Mbah Jadi, juru kunci situs makam. Terima kasih banyak.


source: dokumen pribadi

Situs Makam Gunung Tambalan merupakan satu di antara banyak situs cagar budaya yang terdapat di Desa Gilangharjo. Situs ini berlokasi di Dusun Tambalan Kauman, Desa Gilangharjo, Kecamatan Pandak, Kabupaten Bantul, DIY. Seperti namanya, situs yang menempati tanah milik Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat (sultan ground) seluas 6700 m² ini terletak di atas pegunungan/bukit kecil bernama Gunung Tambalan. Bagian bawah situs dikelilingi oleh permukiman penduduk serta area persawahan yang membentang luas, menjadikan Gunung Tambalan terlihat indah dan menawan dari kejauhan.

ASAL-USUL GUNUNG TAMBALAN

Banyak kalangan yang tidak tahu mengenai asal-usul Gunung Tambalan. Padahal jika diulik lebih dalam, terdapat berbagai versi cerita rakyat yang mengabadikan sejarahnya, baik yang tersebar melalui gethok tular (dari mulut ke mulut) maupun artikel-artikel sejarah yang ada di internet. Ceritera-ceritera yang berkembang tersebut sangatlah bervariasi dan menarik, sehingga dapat memunculkan teka-teki tersendiri di benak para pendengarnya.

Konon keberadaan Gunung Tambalan berasal dari bagian puncak Gunung Merapi yang ditendang ke arah selatan oleh Werkudara. Warga sekitar berusaha membuktikan kisah ini dan mengaitkannya dengan jenis tanah Gunung Tambalan yang penuh misteri karena berbeda dengan tanah di daerah sekitarnya. Saat musim hujan tekstur tanahnya tidak bisa menjadi becek, dan saat musim kemarau tidak menjadi gersang. Pepohonan yang tumbuh di atasnya selalu subur dan menghijau sepanjang tahun. Warga percaya, tanah sejenis ini tak ubahnya tanah yang ada di Gunung Merapi. Merekapun kemudian menyebutnya tanah kuning dan menganggap Gunung Tambalan sebagai miniatur Gunung Merapi.

Sementara itu, secara umum sejarah penamaan Gunung Tambalan tidak terlepas dari keberadaan makam Kyai Tambal dan Nyai Tambal di bukit tersebut.

Seperti dalam versi cerita yang pertama. Penamaan Tambalan diambil dari sosok bernama Kyai Tambal. Ia merupakan abdi dalem kesayangan yang membantu perjuangan Pangeran Puger dalam mempertahankan Karaton Plered dari Pemberontakan Trunajaya (1677). Atas jasanya itu, Kyai Tambal diangkat menjadi penghulu kerajaan dan setelah wafat dimakamkan di bukit yang kemudian dinamakan Tambalan. Pangeran Puger sendiri memiliki nama asli Raden Mas Darajat. Ia adalah putra Amangkurat I, raja terakhir Mataram, dari permaisuri kedua yaitu Kanjeng Ratu Wetan. Kelak pada tahun 1704 Pangeran Puger naik tahta menjadi Raja Kasunanan Kartasura dan bergelar Sri Susuhunan Paku Buwana I.

Versi kedua menuturkan bahwa nama dan keberadaan Tambalan sudah ada jauh sebelum kedatangan Kyai Tambal dan Nyai Tambal. Konon Tambalan telah memiliki peradaban yang maju dengan masyarakatnya yang gemar bercocok tanam. Masyarakat juga telah memiliki pemakaman sendiri yang terletak di lereng bukit. Di masa sekarang, ceritera itu diperkuat dengan adanya bukti temuan berupa tulang-tulang manusia oleh warga Dusun Tambalan Kauman ketika melakukan penggalian tanah untuk membuat undhak-undhakan (tangga naik) situs. Sebutan Kyai Tambal dan Nyai Tambal sendiri hanyalah nama samaran dua orang pengelana yang kemudian bermukim di bukit tersebut. Keduanya diduga merupakan ulama keturunan Majapahit yang hidup sebelum era Mataram Yogyakarta.

Terakhir, ada kalangan yang meyakini bahwa dahulu kala terdapat belik atau sumber mata air artesis di daerah yang kini bernama Tambalan. Karena mata airnya terus mengalir tanpa terbendung, warga memutuskan untuk menutupnya dengan menggunakan duk (ijuk) yang banyak, kemudian menutupinya lagi dengan batuan besar sebagai subal atau penambalnya. Akhirnya, mata airpun dapat tersumbat dan terlihat seolah-olah ditambal. Kenampakan itu kemudian melatar belakangi penamaan Tambalan. Keberadaan mata air yang terkubur itu juga dihubungkan dengan tanah Gunung Tambalan yang penuh misteri, di mana tanahnya begitu stabil saat musim penghujan atau kemarau.

SITUS PEMAKAMAN

Cungkup Kyai Tambal dan Nyai Tambal.
source: dokumen pribadi

Pemilihan Gunung Tambalan sebagai situs pemakaman bukanlah sebuah ketidaksengajaan, mengingat banyaknya tokoh penting yang dimakamkan di area tersebut. Berdasarkan kepercayaan masyarakat Jawa, tokoh-tokoh yang berkedudukan dan berpangkat tinggi seperti raja dan bangsawan layak mendapatkan tempat yang tinggi pula sebagai peristirahatan terakhirnya. Tempat yang tinggi seperti di daerah pegunungan dipercaya menjadikan ruh seorang tokoh lebih dekat dengan Sang Pencipta.

Demikian halnya tata pemakaman di Situs Makam Gunung Tambalan. Tempat yang paling atas diperuntukkan bagi makam keturunan Sri Sultan Hamengku Buwana II, diikuti penghageng Keraton Yogyakarta, tokoh bangsawan, dan ulama. Sedangkan area yang lebih rendah menjadi tempat pemakaman bagi tokoh masyarakat, ulama/kaum, serta warga sekitar. Dari keseluruhan makam yang ada, beberapa di antaranya memiliki cungkup (bangunan makam) sehingga nisannya terlindung dari hujan dan terik matahari, namun banyak pula yang cukup menempati tanah terbuka.

Bangunan makam berwarna putih yang berdiri di puncak atau tempat teratas situs merupakan tempat disemayamkannya Bendara Raden Ayu (B.R.Ay) Jayaningrat dan Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Jayaningrat. B.R.Ay. Jayaningrat adalah putri dari Sri Sultan Hamengku Buwana II yang diduga memiliki ikatan perkawinan dengan KRT Jayaningrat. Sebagai menantu kerajaan, KRT Jayaningrat mendapatkan posisi sebagai penguasa di salah satu wilayah Yogyakarta. Masa kepemimpinannya berlangsung sebelum pecahnya Perang Diponegoro (1825-1831), tepat ketika Sri Sultan Hamengku Buwana II berkuasa (1792-1828). Makam kedua putri–menantu kerajaan ini terletak di cungkup paling dalam. Batu nisannya berasal dari batuan hitam berukirkan keterangan yang ditulis dalam aksara Jawa hanacaraka. Sedangkan ruang pemakamannya yang senantiasa tertutup tidak terdapat akses cahaya sama sekali, selain pada saat pintunya dibuka oleh juru kunci untuk kepentingan tertentu.

Di sisi kanan depan bangunan makam adalah tempat disemayamkannya beberapa tokoh penting yang memiliki garis keturunan Sri Sultan Hamengku Buwana II. Sebut saja yang pertama, yaitu Raden Tumenggung Jayadiningrat I. Ia merupakan Bupati Bantul kedua yang memerintah pada tahun 1845-1851, menjabat setelah berakhirnya masa pemerintahan Raden Tumenggung Mangun Negoro, Bupati Bantul pertama (1831-1845). Tokoh lainnya antara lain Raden Tumenggung Jayadiningrat II, Raden Tumenggung Wiryodiningrat, Raden Mas Kilayunedeng, dan Raden Subanar. Selain itu, masih terdapat keturunan Sri Sultan Hamengku Buwana II dari selir lain yang dimakamkan di situs ini. Jumlah makamnya yang tidak sedikit menempati area pemakaman yang luas dan dibentengi oleh tembok setinggi kurang lebih 2 meter.

Makam Kyai Tambal dan Nyai Tambal sendiri terletak di tengah-tengah situs. Tak ada keterangan pasti kapan kedua sosok yang dianggap sebagai leluhur Gunung Tambalan ini dimakamkan. Nisannya hanya menunjukkan bahwa cungkupnya dibangun kembali pada tahun 2004, membuat pemakaman kedua tokoh tersebut terlihat lebih terawat dan mencolok dibandingkan cungkup-cungkup sekitarnya.

Bersama Mbah Jadi, juru kunci situs makam.
source: dokumen pribadi

Perawatan Situs Makam Gunung Tambalan tidak terlepas dari peran sang juru kunci yang akrab dipanggil Mbah Jadi. Sosok yang sekaligus menjadi abdi dalem Keraton Yogyakarta ini tinggal di Dusun Ketandan Kauman, tak jauh dari keberadaan situs. Ia merawat situs mulai dari membersihkan area pemakaman, mengantar pengunjung yang ingin berziarah, hingga memberikan keterangan tentang sejarah situs. Ia pun tak jarang mengingatkan siapa saja yang ingin berkunjung untuk menaati adab memasuki Situs Makam Gunung Tambalan, seperti naik melalui tangga di sebelah kanan dan turun melalui tangga kiri. Pengunjung juga harus mempunyai niat baik dan berlaku baik ketika berada di dalam situs, sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur dan keberadaan situs itu sendiri.

Hingga saat ini, banyak peziarah yang datang ke Situs Makam Gunung Tambalan untuk mendoakan leluhur. Pemerintah Kabupaten Bantul sendiri secara rutin melakukan ziarah makam Bupati Bantul kedua, Raden Tumenggung Jayadiningrat, yaitu setiap tanggal 20 Juli yang bertepatan dengan Hari Jadi Kabupaten Bantul. Peziarah lainnya datang dari kalangan warga sekitar, pengunjung yang bermaksud napak tilas, ataupun peneliti.

Sumber:
Mbah Jadi, juru kunci Makam Gunung Tambalan
https://ppid.bantulkab.go.id/sejarah-badan-publik/
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Pangeran_Puger
https://id.rodovid.org/wk/Istimewa%3AChartInventory/354669
https://id.rodovid.org/wk/Orang:363292
https://www.perwara.com/2020/asal-usul-nama-gunung-tambalan/
https://youtu.be/gf8I_V-51XE

13 thoughts on “Sejarah Situs Makam Gunung Tambalan

    1. iya kak hehehe, terima kasih banyak.
      tidak, kak. kalau makam raja-raja mataram ada di kotagede dan imogiri. tapi kalau bangsawan ada juga yang dikebumikan di kedua pemakaman itu, atau di daerah di mana dulu ia tinggal/berkuasa, atau di tempat-tempat lain yang bahkan tidak banyak diketahui orang.

      Liked by 1 person

  1. Salut sama orang yang bisa mempelajari sejarah.
    Dulu waktu SMA gak mau masuk IPS karena ada pelajaran sejarah.
    Entah kenapa kalo baca tulisan sejaran setiap ada tanggal, nama tokoh dan tempat selalu mata otomatis skip dan menganggap gak penting. Hehehe.

    Liked by 1 person

    1. Hehehe kebalikannya saya berarti ya. Dulu kalau belajar sejarah, dan sampai sekarang pun, kalau diceritain ttg sejarah gitu saya malah terus memburu pertanyaan ke penceritanya. sampai minta ampun yang cerita wkwk

      Liked by 1 person

  2. Hmm, keren banget kak, penjelasannya detail dan mendalam. Di Mojokerto juga banyak situs bersejarah, tapi saya belum pernah menuliskannya. Kalau foto dokumen pribadinya banyak, hehe. semoga suatu saat bisa menuliskan seperti ini juga..

    Liked by 1 person

    1. Terima kasih banyak kak hanifah.

      Amin amin. Iya di mojokerto banyak dan saya selalu excited kalau ke sana. Tidak ada salahnya untuk dituliskan kak, hehe. Mudah-mudahan saya punya kesempatan untuk mengunjungi mojokerto lagi.

      Like

  3. Terimakasih Rahma Frida
    atas liputan nya…..
    Sebelum petilasan Mbah Tambal di buat cungkup nya
    Makan Simbah saya pas di atas nya yang ada Beteng nya
    Salam kenal
    Moh Eri Prabowo
    Gus Moh
    T S U

    Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s