Terima Kasih Telah Mendengarkan

Saya memutuskan untuk menyampaikan sisi gelap diri saya setelah berpikir, bahwa tidak ada salahnya bercerita tentang apa yang memenuhi kepala di situs blog. Mungkin ada pembaca, atau orang lain di sudut kota lain yang menemukan tulisan ini juga mengalami hal yang sama dan karenanya ia tidak merasa sendiri. Hey. Saya sedikit terkejut karena saya begitu lancar menuliskan kalimat-kalimat pembuka ini. Tapi, sudahlah. Saya akan melanjutkannya tanpa keragu-raguan.

Tahun 2020 menjadi tahun di mana banyak rangkaian kegiatan yang terpaksa saya batalkan. Kegiatan yang saya susun itu adalah buah dari ide saya sendiri selama beberapa waktu, dan berharap menjadi tonggak awal untuk kelanjutan kegiatan kedepannya. Saya sedih. Saya menghubungi orang-orang yang bersangkutan dan menyampaikan kabar pembatalan sekaligus permintaan maaf. Jujur saja, saya sempat mengalami depresi karena hal itu. Tidak hanya sehari dua hari. Saya terus berpikir apa artinya semua ini (Untuk apa aku melakukannya?!). Meski begitu saya tidak ingin terlihat lemah dan orang lain mengetahuinya. Saya terus bersikap baik dan orang harus menilai bahwa saya dalam tingkatan kesehatan yang baik pula. (Tapi saat ini saya sedang memberikan pengakuan).

Saya memutuskan untuk menghubungi psikolog dan bercerita tentang keluhan saya selama kurang lebih dua jam. Ia mendengarkan saya dengan baik dan memberikan saran-saran positif seperti biasanya. Psikolog saya itu, namanya Mbak Dian. Dia seorang wanita di awal usia 30 tahunan. Saya menemuinya untuk pertama kali sekitar 3 tahun yang lalu di tempat praktiknya. Dia psikolog yang baik dan mengklaim dirinya siap dating dengan pasien yang menginginkannya. Pekerjaannya sangat mulia untuk merawat semangat hidup orang lain tetap menyala.

Saya lupa. Mungkin seminggu atau dua minggu setelah konsultasi, saya baru benar-benar menyisihkan kecemasan yang saya alami. Saya bisa menerima pekerjaan dan kuliah dilakukan dari rumah. Sekali dua kali saya membolos tanpa alasan. Psikolog saya mulai menelpon untuk menanyakan kabar, dan saya menjawab bahwa saya jauh lebih tenang. Ia juga meminta saya untuk tidak pergi menemuinya lagi selama pandemi (karena ia pun yakin saya bisa menyembuhkan diri sendiri setelah mendengarkannya), tapi ia memberi alternatif. Apa namanya? Telekonseling? Ya, saya rasa itu. Layanan yang diberikan banyak lembaga sosial dan psikolog untuk orang yang terkena dampak pandemi. Saya ingat platform atmaGo juga memilikinya dan memasang iklan layanan gratis itu di berandanya.

Dimulai bulan Maret, blog saya tiba-tiba berisi tulisan tentang pandemi (sekali lagi: pandemi, pandemi, dan pandemi), seperti halnya yang ditulis oleh bloger lain. Saya menuliskan rangkuman kegiatan yang saya lakukan dengan selalu menunjukkan bagian positifnya. Oh, ya. Tentu saja pembaca tidak bisa menemukan bagian negatifnya karena saya sudah menghapus bagian negatif yang saya tulis sebelum mempublikasikannya. Saya menuliskan paragraf demi paragraf dengan bahagia. Itu memang bahagia yang tidak saya buat-buat dan bukan cerita yang mengada-ada. Tapi, lama-lama saya bosan juga terus mewartakan hal-hal yang saya lakukan, walaupun tag line-nya adalah untuk berbagi dan memberikan manfaat. Belum lama ini bahkan saya sudah mengubah beberapa posnya menjadi draft. Kejujuran ini mungkin bisa direpresentasikan dengan sebuah emoji (?).

Keadaan saya semakin lebih baik hari demi hari—ini hanya saya saja yang bisa menyimpulkannya. Saya meneruskan kegiatan berpikiran positif dengan bermacam-macam hal dan tertawa menanggapi lelucon yang teman-teman saya lontarkan di grup WhatsApp. Kadang-kadang tertawa saya memang terasa sedikit hambar, atau getir, tapi saya pikir itu tidak apa-apa. Ya. Tidak apa-apa.

Saya menyukai kegiatan membaca buku dan mendengarkan musik, jadi saya melakukannya sedikit lebih banyak. Di samping saya, ada adik saya yang menonton K-drama dan mendengarkan K-Pop terus-terusan. Laptopnya sampai sepanas kepala orang yang sedang murka. Tapi, lucunya saya yang sebelumnya acuh tak acuh dengan hal-hal berbau Korea bisa tertarik begitu saja untuk berbaring dengannya di depan laptop. Dia tidak menyadari bahwa kakaknya tengah melakukan apa saja untuk self-healing. Dia juga tidak tahu kalau saya telah bertemu psikolog di awal bulan April sebelum ia menemukan kartu saya. Tanpa banyak bereaksi, ia mengizinkan saya bergabung dan meminta saya untuk tidak melakukan protes pada hal-hal yang sedikit mengejutkan. Deal!

Saya tidak bercanda, drama Korea yang adik saya tonton itu bagus dan tidak membosankan seperti yang saya kira selama ini. (Pelajaran pertama: drama Korea itu bagus untuk hiburan). K-Pop yang dia pilih juga tidak ekstrem dan memerlukan banyak sensor. (Pelajaran kedua: K-Pop juga bagus untuk hiburan). Saya memulai streaming sendiri setelah tahu adik saya tidak kooperatif. Salah, bukan tuduhan itu. Maksudnya, saya ingin mendengar lagu K-Pop dan menonton drama Korea dari gadget saya sendiri. Saya rasa ini bagian terbaru dalam hidup saya. Saya tidak ingin menolaknya. Psikolog saya bilang, saya tidak perlu ragu untuk membuat diri sendiri nyaman dengan apa yang saya sukai. “Coba itu. Kamu suka? Baik, lanjutkan tapi jangan sampai menguras energi untuk rutinitasmu. Lakukan secara wajar saja.”

Apakah ada yang penasaran dengan grup idol yang lagunya sering saya putar akhir-akhir ini? Oh, saya rasa tidak. Pertanyaan semacam itu hanya akan ditanyakan oleh si penanya untuk dirinya sendiri. (Pelajaran ketiga: berhenti meminta orang lain untuk bertanya pada dirimu).

Sebuah grup idol Korea yang saya suka, salah satu anggotanya juga memiliki kondisi mental yang mungkin saja tidak stabil, tapi anggota lain termasuk penggemarnya melihatnya sebagai yang paling stabil di grup itu. Saya cukup terkesan dengan pertahanan yang dia miliki. Dia menunjukkan self-love yang bisa menginspirasi orang lain. Tapi di sisi lain dia menyembunyikan sisi gelap dirinya dari mata dunia, karena tidak ingin membuat penggemarnya ikut merasakan sedih yang dia alami. Walaupun di kemudian hari akhirnya dunia melihat dia membagikan perasaannya lewat lagu—yang saya ketahui maknanya sangat dalam. Saya membaca pesannya yang amat bagus di media massa. “Kamu tidak perlu membagikan perasaanmu selama kamu merasa mampu untuk menghandle-nya sendiri. Jika tidak, maka tidak ada salahnya untuk berbagi cerita dengan orang yang tepat, karena mungkin mereka bisa membantumu.” Ini mengejutkan karena saya mengingat kata-katanya. Tapi, itu cerita yang bagus, bukan? Saya tidak merasa ragu untuk membagikannya di sini. Ya, begitu. Cerita itu, pada akhirnya membuktikan, bahwa akhirnya manusia menyadari bahwa dirinya hanyalah manusia.

Saya menyukai Korea satu paket dengan bahasa dan buku-buku terjemahannya. Saya berniat belajar Hangeul setelah terbiasa mendengarnya, tapi saya hanya berhasil menghafal alfabetnya. Saya harus mencari alasan jika ingin mempelajarinya lebih lanjut. Sedangkan buku-bukunya luar biasa. Novel dan buku-buku self-improvement yang mulai saya koleksi: (1) Hidup Apa Adanya, (2,3) I Want To Die But I Want To Eat Tteokpokki 1&2, (4) Almond, (5) Kim Ji-Yeong Lahir Tahun 1982, (6) Adakah Orang Sepertiku?—yang saya beli di akhir tahun, (∞) dan berharap saya menambahnya lebih banyak lagi di tahun 2021. Buku-buku self-improvement ternyata cocok untuk saya.

Hanya itu yang bisa saya ceritakan tentang Korea. Saya menyukainya. Happy ending.

Selain itu, selama tujuh bulan terakhir, saya juga disibukkan dengan kegiatan memelihara tanaman. Saya juga membuat kegiatan sosial yang baru dengan mengajak partisipasi teman-teman yang tiba-tiba punya banyak waktu akibat pande– (huh!). Kegiatannya lancar dan cukup membuat saya lupa kalau bulan-bulan sebelumnya saya hampir saja gila. Lalu, ada agenda dari kelurahan yang membuat saya sibuk. Workshop fotografi yang membuat saya sibuk. Workshop kewirausahaan juga. Pendirian pendopo baca, bimbel gratis yang berjalan setiap hari Sabtu, dan tugas pekerjaan di akhir tahun menjadi puncaknya. Saya memahami diri saya yang suka bersosialisasi dan takut pada kesepian, jadi saya menjalani kegiatan-kegiatan itu dengan baik. Memangnya apalagi yang bisa saya lakukan selain itu?

Saya mengalami naik turun kehidupan di tahun 2020. Naiknya tidak begitu tinggi, tapi turunnya sangat dalam. Saya pernah mengalami hal yang serupa di tahun-tahun sebelumnya. Mungkin saat itu saya sempat berpikir untuk menyerah karena rasa terpuruk, tapi saya lega sampai hari ini saya masih bertahan hidup. Dunia ini dan dunia yang saya ciptakan sendiri belum berakhir. Itu semua berkat support system saya yang terdiri dari orang-orang hebat di sekitar saya. Saya sangat berterima kasih ketika mereka memberi dukungan dan pelukan hangat begitu tulusnya, tanpa harus tahu apa yang saya alami sesungguhnya. Ya. Sejujurnya mereka tidak tahu kalau saya menghubungi psikolog paling tidak sebulan sampai dua bulan sekali. Bahkan keluarga inti saya sendiri, terkadang mereka tidak mengetahuinya. Saya tidak ingin mereka tahu dan itu tidak menjadi masalah bagi saya. Saya harus membiasakan diri untuk mengurus diri saya sendiri dan dengan tidak banyak mengeluh, mungkin untuk waktu yang lebih lama lagi. Psikolog saya sebetulnya menyarankan hal yang sebaliknya. Dan jika mengingat sarannya itu saya selalu membayangkannya tengah berkata, “Dukungan orang-orang tercinta bisa membuatmu cepat membaik.” Tapi syukurlah itu hanya suara yang saya bayangkan. Saya rasa keberadaan orang-orang tercinta sudah membuat saya baik. (Apakah tulisan ini terbebas dari mata-mata?)

Tahun 2020 berakhir dengan cara yang ia kehendaki. Saya berusaha merelakan apa yang hilang dengan sia-sia. Saya membangun diri saya kembali, melakukan hal-hal yang saya sukai yang sebelumnya tidak pernah terwujudkan, dan mencapai bagian terpentingnya: lebih memahami dan mencintai diri sendiri. Sayangnya di sini, tidak ada hal yang ingin saya bagikan mengenai resolusi tahun 2021. Saya hanya punya harapan, I hope 2021 is full of happiness, success, and healing. Saya harap semua orang punya pekerjaan dan finansial yang bagus. Tetap sehat, jangan sampai jatuh sakit.

Lantai atas sangat dingin. Ibu saya bertanya apakah saya sedang menyusun kaleidoskop hingga larut malam, tapi ternyata itu suara yang berasal dari kepala saya sendiri. Ibu saya sudah tidur. Ia mengantuk lebih awal dari pada biasanya. Saya pikir, saya juga harus tidur sekarang. Atau beberapa menit lagi.

Terima kasih telah mendengarkan. Selamat tahun baru, orang-orang baik. Saya berharap saya tidak terlambat mengucapkannya. Mari hidup bahagia bersama lebih lama lagi.

Yogyakarta, 1 Januari 2021


Ps: Seharusnya saya mengepos tulisan ini tadi malam, tapi koneksinya sangat buruk.

19 thoughts on “Terima Kasih Telah Mendengarkan

  1. Masyaallah, Kak Frida, tetap semangat ya… Saya tahun ini juga punya pengalaman yang sama dengan Kak Frida. Saya juga sedang proses konseling dengan psikolog sejak pertengahan 2020, kak. Semoga kita bisa saling menguatkan ya.. 🙂 Mungkin suatu saat bisa saya tuliskan 🙂

    Liked by 1 person

    1. ❤️❤️
      Kita sama ternyata, ya 🤗 Tahun ini kita mengalami, dan saya pribadi juga mengalaminya di tahun-tahun lalu. Sejak saya masih kecil, sebetulnya. Tapi tak apalah. Hidup harus terus berjalan. Semangat, semangat! 🤗🤗

      Like

  2. Iya, mbak. Qodarullah wa masya’a fa’al. Segala yang telah terjadi insyaAllah takdir terbaik buat kita. 🙂
    Wah, sama mbak, saya juga sejak masa kecil dan tahun-tahun lalu. Tapi baru ada pertolongan tahun ini. Yg saya syukuri, alhamdulillah, pertolongan Allah itu dekat. Tidak bisa membayangkan kalau pertolongannya terlambat. 🙂
    Btw, blognya sudah saya follow, mbak

    Like

  3. Frida dan Hani…
    Saya hanya bisa berdoa untuk kalian. Smg kalian diberi kekuatan untuk tetap bida memelihara harapan, memupuk semangat hidup dan berdamai dengan diri sendiri.

    Percayalah, Tuhan selalu mengukur ujian kepada hambanya tak pernah melebihi kesanggupan kita memikulnya.

    Selamat Tahun Baru 2021.

    Like

  4. Dan 2020 terlewati sudah. Semoga 2021 membawa kebaikan utk kita semua.
    Aku sangat setuju terkait drama Korea bisa menyenangkan hati. Aku juga pernah suntuk tak jelas ( utk orang yg moody seperti aku, itu biasa mungkin ya😀) dan aku memutuskan nonton drama Korea. 16 episode aku balap sampe selesai, dan alhasil sukses membuatku riang gembira.
    Walaupun akhirnya ada sedikit rasa berdosa,,, kenapa aku lari ke sana? Kenapa bukan lari kepada Tuhan atau hal berbau rohani gitu he he he….

    Eh, bukannya mendengar tapibaku malah minta didengar. Butuh dihampar nih aku ha ha ha

    Like

    1. iya mom..
      aku juga sempat berpikir begitu, kenapa tidak meminta ketenangan saja sama Tuhan. ternyata aku tidak begitu religius. aku lari kepada Tuhan tapi juga lari ke arah lain. ya menurutku tidak apa2 asalkan hiburan itu tidak melenakan 😅

      Liked by 1 person

  5. Saya juga mengalami naik turun kehidupan di 2020.
    Bener banget, naiknya tidak begitu tinggi, tapi turunnya sangat dalam.
    Seketika saya merasa semua orang tidak mencintai saya hanya karena satu orang yang saya cintai memutuskan untuk berhenti mencintai saya. Tapi akhirnya saya kembali sadar kalau keberadaan keluarga yg saya yakin mencintai saya sudah sangat cukup untuk menghapus pedihnya kehilangan seseorang. Dan setelah bertahun – tahun ngeledekin adek perempuan saya yg kecanduan drakor dan kpop akhirnya saya nonton beberapa serial korea. Walaupun kuping saya belum bisa untuk menikmati lagu2 kpop.
    Hehe.

    Liked by 2 people

  6. Semangat Frida, kamu nggak sendiri kok. Aku juga lagi ikut berjuang melawan masalah mental, kok. Semoga di tahun 2021 ini menjadi tahun yang terbaik

    Liked by 1 person

  7. Semangat, mba Frida.
    Saya sangat yakin kamu pasti bisa. Lakukan hal yang membuatmu bahagia, ngedrakor, k-pop, dllnya. Saya terkadang malah nge-hindi, nge-anime sudah setua ini.

    Liked by 1 person

Leave a comment