Terima kasih kepada para sesepuh dan orang tua yang bijak bestari, yang telah berlaku setiti lan ngati-ati dalam menggunakan benda-benda yang dimilikinya, lalu mengajarkan laku penuh rasa menghargai itu kepada anak cucunya, yang salah satunya adalah saya.

Melihat kembali beberapa tahun silam di mana saya mulai bekerja dan berpenghasilan di usia yang tak lebih dari angka 20, ada satu pertanyaan dari seorang tetangga yang masih saya ingat hingga kini, “Sudah punya uang, sudah bisa beli apa saja?”
Sejak pertanyaan itu mengemuka, saya hanya memahami bahwa ada segelintir orang yang mendefinisikan orang-orang yang bekerja dan berpenghasilan sebagai mereka yang dapat memiliki fasilitas hidup serba-bagus atau investasi yang tersandang di badan, sehingga dapat dilihat perubahan “kuantitas” dirinya. Tidak lebih. Setelah itu, saya bahkan tidak ujug-ujug membuat perubahan secara fisik dengan penghasilan yang saya peroleh. Misalnya, mengenakan perhiasan, berbusana serba-trendy, atau mengganti motor matic Beat saya dengan Scoopy.
Bukan berarti saya memanfatkan uang dengan selalu tepat guna dan selebihnya ditumpuk di bank. Berbagai kebutuhan dan keinginan yang tak perlu ditanggung lagi oleh orang tua, setidaknya dapat saya cukupi sendiri. Buku salah satunya, sebagian biaya kuliah salah duanya. Setiap melihat besar nominal yang mesti saya bayar, saya selalu berpikir bahwa segala sesuatu—apa pun itu, tidak bisa diputuskan dengan tergesa-gesa. Kudu setiti lan ngati-ati. Harus cermat dan berhati-hati.
Pakaian adalah satu-satunya kebutuhan yang saya penuhi benar-benar sesuai dengan kebutuhan. Saking “sesuainya”, mungkin orang-orang yang kerap berjumpa dengan saya dapat mudah membuat kesimpulan bahwa saya selalu mengenakan busana yang itu-itu saja. Dan itu berlangsung tidak hanya satu sampai dengan setengah bulan, bahkan dapat mencapai dua tahun lebih. Nah, seperti apakah busana yang dapat dikenakan sepekan sekali selama dua tahun lebih itu? Masihkah memberi kenyamanan dan estetis untuk dipandang?
Pada suatu waktu, saya juga bertanya-tanya apakah saya telah jauh dari petuah masyarakat Jawa ‘ajining dhiri dumunung ana ing lathi, ajining raga ana ing busana’ bahwa harga diri seseorang terletak pada lisannya, sementara tampilan diri seseorang terletak pada busananya. Namun, di sisi lain, saya melihat bahwa relevansi peribahasa tersebut dengan perkembangan zaman saat ini tidak dapat dimaknai secara natural seperti makna aslinya. Terutama menyangkut tampilan diri, tidak serta merta digunakan untuk menentukan seberapa layak seseorang dihargai.
Sebagai anak perempuan yang lahir dari keluarga sederhana, saya selalu berupaya untuk hidup dan mencukupi kehidupan dari apa yang telah ada. Tidak berusaha memanjakan diri dengan barang-barang eksklusif agar terlihat “wah” demi konten jadi lebih asyik. Saya, ketika hendak membeli sesuatu yang baru, harus mengalami pergulatan batin terlebih dahulu. Bukan perkara uang atau akses menuju penyedia barang yang saya pikirkan, melainkan lebih mengarah pada pertanyaan: Apakah saya benar-benar membutuhkan barang itu dan akan sejauh mana keoptimalan fungsinya?
Percaya atau tidak, untuk memiliki barang baru seperti baju, tas, sepatu, atau perangkat elektronik, saya harus melewati masa: 1) tidak punya; 2) rusak saat memakainya dan barang tidak bisa direparasi lagi; 3) usang atau habis masa pakai; dan 4) kehilangan barang tersebut.Sebenarnya ada satu lagi, yaitu “kanggo melu umum” atau ikut-ikutan, yang lebih ditekankan oleh ibu saya mengingat saya adalah anak perempuan. Tapi, sayangnya saya memiliki pandangan lain bahwa mengadopsi barang-barang yang tengah tren bukanlah sebuah patokan agar seseorang bernilai cantik atau cerdas, pun untuk mem-branding diri, sehingga hal itu dapat saya kesampingkan.
Barang yang kita miliki, kalau bisa, dapat digunakan dalam kurun waktu yang lama, yang kata Kak Ranti “sampai dihabiskan manfaatnya”. Atau, tak perlulah menumpuk banyak barang dengan kegunaan sama, yang kelak hanya akan menambah volume sampah setelah kita bosan dan berhasrat ingin menggantinya dengan barang yang lebih tren lagi. Fokus hari ini adalah merawat dan menghargai apa yang telah kita miliki, dan hanya akan menggantinya ketika memang harus diganti. — Saya menyukai pemikiran seperti itu.

Kakek saya bahkan mengajarkan beberapa life hack agar barang yang kami miliki dapat dimaksimalkan penggunaannya, pun demi menghemat pengeluaran. Sebagai contoh, ketika bagian ujung srampat tali sandal jebol, selama alasnya belum tipis, dapat dikenakan lagi hanya dengan memberinya peniti atau paku idep. Hingga sekarang, dan mungkin untuk waktu yang lebih lama lagi, ajaran tersebut ingin terus saya praktikkan.
Pada akhirnya, memuas(a)kan diri dengan cara-cara yang demikianlah yang saya pilih. Meskipun tampak sulit dan jauh dari kriteria “mapan” menurut kebanyakan orang, bagi saya, tidak. Saya telah terbiasa, karenanya semua berjalan dengan baik-baik saja.
Kalau mau beli-beli gitu, terus mikir juga “inget, nanti ada hisabnya” :’)
LikeLike
Wah, saya belum bisa pakai cara itu… hehe…
LikeLiked by 1 person
wih tampilan blognya baru
LikeLiked by 1 person
iya kak 😀
LikeLike