Mengunjungi Pameran Sekaten 2019

Menjadi salah satu bagian dari masyarakat Yogyakarta adalah kebahagiaan yang Tuhan berikan padaku sejak lahir. Aku sangat bersyukur atas anugerah ini. Kota kelahiranku yang tidak diragukan lagi keistimewaannya ini memang termasuk kota yang paling dirindukan wisatawannya. Aku berani bilang begini karena memang ada banyak buktinya, yaa.. Apalagi aku punya banyak teman luar kota yang sering main ke Jogja, dengan alasan “Kangen jalan-jalan ke Malioboro, ke Keraton…” atau hanya sekedar “Kangen makan gudeg…” Dan banyak yang bilang “You’re so lucky tinggal di Jogja!” OH, Indeed! 

Omong-omong tentang Jogja di bulan November ini, Jogja, lebih tepatnya Keraton Yogyakarta, baru saja menggelar Pameran Sekaten 2019 dari tanggal 1-9 November, dilanjut dengan perayaan Gerebeg Sekaten pada tanggal 10 November. Kita semua tahu bahwa Sekaten adalah event tahunan yang diselenggarakan Keraton Yogyakarta untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW. Tapi di tahun ini, ada yang berbeda dengan perayaan Sekaten itu.

Kraton difoto dari Sitihinggil

 

Ditahun-tahun sebelumnya, perayaan Sekaten selalu diwarnai dengan adanya pasar malam di Alun-Alun Utara. Sementara, tahun ini pasar malam ditiadakan dan diganti dengan Pameran Sekaten. Ini adalah salah satu upaya Keraton untuk mengembalikan citra perayaan Sekaten itu sendiri, yang mestinya diwarnai dengan acara-acara positif dan sarat budaya. Terlepas dari itu upaya memulihkan keadaan rumput-rumput di Alun-Alun Utara juga menjadi salah satu alasan mengapa pasar malam ditiadakan. GKR Hayu (Putri HB X) sendiri melalui akun Twitternya menyebut kalau pasar malam itu identik dengan “awul-awul”. Banyak yang menafsirkannya sebagai pakaian-pakaian impor yang dijual murah-murah, sehingga banyak orang datang memilih-milih sampai mengaduk-aduknya. Banyak komentar mengenai ditiadakannya pasar malam ini. Ada yang mendukung dan ada yang menyayangkan. Kalau kamu termasuk yang mana?

Aku termasuk orang yang mendukung seratus persen, bahkan kalau perlu pasar malam ditiadakan permanen juga tidak masalah, HAHAHA. Ini hanya pendapat sebjektif saja, yaa..  Sebab aku memang lebih tertarik dengan acara yang bernafaskan sejarah dan kebudayaan daripada sekedar hura-hura dan berselfie ria di depan bianglala. Dan berdasarkan penglihatanku sendiri juga, pasar malam hanya berisi hiruk pikuk antara suara wahana hiburan dan suara orang-orang yang entah apa saja yang dibicarakan dan dicari. Lebih miris lagi, sampah tusuk makanan dan sampah plastik berisi saus sisa dan kuah sisa banyak berceceran di atas rumput alun-alun. Bahkan ada yang sampai membuat becek. Coba bayangkan, kalau kita sedang berjalan-jalan kemudian kaki kita menginjak saus bekas itu! Uff… It’s so annoying… Dampak lainnya yang tidak menyenangkan adalah orang-orang yang menuju kawasan pasar malam sampai membuat jalan-jalan sekitar macet, apalagi pas malam Minggu.

Lalu, seperti apa Pameran Sekaten 2019 ini? Nah, ini saatnya aku berbagi cerita tentang kunjunganku ke Pameran Sekaten dan apa saja agendanya yang aku ikuti.

Pameran ini mengangkat tema “Sri Sultan Hamengku Buwono I: Menghadang Gelombang, Menantang Zaman” yang digelar di Kompleks Sitihinggil dan Bangsal Pagelaran Keraton Yogyakarta. Untuk bisa melihat ada apa saja di pameran, kita harus membeli tiket seharga Rp 5000,- terlebih dahulu di depan pintu gerbang Keraton sebelah utara.

Beli tiket di sini….

 

Mengikuti Pelatihan Seni Batik

Disamping melangsungkan rangkaian prosesi Sekaten dan pameran koleksi,  Keraton juga mempersembahkan banyak sekali agenda-agenda menarik yang bisa ditonton, diikuti, dan dirasakan oleh masyarakat umum. Tentunya agenda-agenda tersebut sarat dengan nilai dan budaya Yogyakarta. Coba, lihat ada apa saja…

Aku sangat tertarik dengan Pelatihan Seni Sekaten. Sejak informasi pelatihan yang ditujukan untuk umum terbatas itu diinformasikan oleh GKR Hayu lewat akun Twitternya, aku langsung intens mengikuti informasi selanjutnya. Sampai pada informasi pendaftaran, tanpa pikir panjang aku pun mengisi form pendaftaran secara online. Ada 3 macam pelatihan, yaitu batik, tari, dan gamelan. Aku memilih opsi batik. Satu minggu kemudian aku mendapat konfirmasi bahwa aku dinyatakan terdaftar dalam pelatihan itu. Dan aku terjadwal pada tanggal 2 November, hari pertama pelatihan. Wah, senang sekali rasanya. Kapan lagi bisa begini?

Pada saat pelatihan yang bertempat di Gedung belakang Bangsal Mangunturtangkil di Sitihinggil, aku bertemu dengan peserta lainnya yang kurang lebih berjumlah 20 orang yang rata-rata anak muda. Dua orang abdi dalem yang bertugas sebagai pelatih batik, sudah duduk di depan dan tengah mempersiapkan kompor dan malam (lilin untuk membatik). Meski begitu mereka melakukannya sambil menjelaskan perihal tentang teknik membatik nglowong (memberi malam pola motif batik dengan menggunakan canting) yang merupakan teknik dasar membatik. Membatik nglowong ini pulalah yang akan kita pelajari di pelatihan ini. Kita juga diberitahu bahwa membatik haruslah dengan hati dan pikiran yang semeleh (tenang), karena apabila kita tidak tenang, hasil membatik nglowong tidak akan bagus. Sambil menunggu malam mencair dan siap digunakan, kita memanfaatkan kesempatan untuk bertanya-tanya  tentang seluk beluk batik, perbedaan corak batik Jogja dan Solo, motif-motif yang khusus untuk Raja dan rakyat biasa, dan lain sebagainya. Suasananya sangat aktif karena masing-masing dari kami bisa dibilang mengajukan satu pertanyaan seputar batik.

Baru setelah malam siap digunakan, kita dibagi menjadi 4 kelompok. Masing-masing kelompok duduk mengelilingi kompor dan peralatan batik lainnya yang sudah disiapkan. Kita diberi canting dan selembar kain mori putih seukuran sapu tangan yang sudah ada sketsa batiknya. Proses nglowong sudah bisa kita mulai.

Pada praktiknya, membatik nglowong itu susah-susah gampang. Setelah mengambil malam dengan nyamplung canting (bagian atas canting yang berfungsi untuk mengambil malam), kita harus meniup cucuknya (ujung canting untuk tempat keluar malam) terlebih dahulu, supaya malam yang akan keluar dari cucuk tidak terlalu panas dan bisa membentuk garis yang ideal. Kenyataannya ada peserta yang mengeluh karena malam yang keluar dari cucuk canting malah membuat garis yang tebal bahkan bercak yang besar. Aku juga mengalami hal yang serupa sebetulnya, HAHAHA. Eh, tapi bukan belajar namanya kalau prosesnya tidak diwarnai dengan kekeliruan dan mengulang-ulang sampai maksimal.

Selama membatik, kita peserta saling berkenalan. Peserta tidak hanya berasal dari Jogja, ada yang datang dari luar kota hanya untuk mengambil kesempatan mengikuti acara ini. “Mumpung ada kesempatan, why not? Kapan lagi, sih, bisa begini?” Kita juga berkenalan dengan kedua abdi dalem yang melatih. Dan wow… OMG!!! Waktu aku mendengar nama alamat rumah mereka, aku sangat terkejut karena ternyata mereka berasal dari Kelurahan Triharjo, Kabupaten Bantul. Kelurahan itu bisa dibilang kelurahan tetangga, bahkan rumah salah satu abdi dalem itu, yang bernama Bu Kasih, ada di Pedukuhan Ciren. Hanya terpaut satu pedukuhan dengan pedukuhan dimana aku tinggal. Beliau juga terkejut saat mendengar aku berasal dari Kelurahan Gilangharjo. Suasana penuh kekeluargaan dan obrolan antar tetangga pun langsung tercipta. Yang selalu aku ingat, beliau berulangkali memintaku untuk main-main ke rumahnya, “Sesuk dolan ning nggonku, yo, Nduk…”

Kita selesai membatik dalam waktu satu setengah jam. Itu pun disela-selanya diwarnai dengan obrolan dan  senda gurau, juga saling mengambil foto untuk mengabadikan partisipasi kita mengikuti pelatihan. Sayang sekali, kita tidak bisa meneruskan proses pewarnaan maupun pengangkatan lilin berhubung waktu pelatihan yang terbatas. Namun, kita diizinkan untuk membawa pulang hasil karya kita.

Berselfie dengan Bu Kasih, abdi dalem keraton

Belajar dan Mengenal Koleksi Pameran

Pameran Sekaten 2019 menampilkan koleksi-koleksi bernilai sejarah yang ada pada masa kekuasaan HB I, tentang sosok HB I dan peranannya, dan karya-karya yang dibuat oleh HB I sendiri. Diantaranya adalah potret HB I dalam sebuah lukisan besar dan wayang kulit Arjuna yang bernama Kanjeng Kyai Jayaningrum yang dipahat sendiri oleh HB I.

Selain itu ada banyak sekali koleksi benda sejarah lainnya. Aku akan merinci beberapa yang masih bisa kuingat dan yang sempat aku foto penjelasannya, tapi aku tidak bisa menyertakan fotonya. Sebab mengambil foto dan menyentuh koleksi sama sekali tidak diizinkan.

1. Gunungan. Ada dua buah gunungan yang membedakan antara gunungan khas Yogyakarta dan gunungan khas Solo.

2. Wayang kulit Kumbakarna. Wayang kulit Kumbakarna ini juga ada dua, yang membedakan antara milik Yogyakarta dan milik Solo. Kumbakarna khas Yogyakarta lebih bertubuh gempal, sedangkan milik Solo lebih langsing.

3. Wayang kulit Arjuna Sasrabahu, juga terdiri dari milik Yogyakarta dan Solo. Wajah Arjuna khas Yogyakarta berwarna putih tulang keemasan, sementara khas Solo berwarna hitam.

4. Empat keris pusaka dengan ukirannya yang unik dan berbeda-beda. Keris-keris ini mempunyai nama Kanjeng Kyai Ageng Kopek, Kanjeng Kyai Joko Piturun, Kanjeng Kyai Pleret, dan Kanjeng Kyai Baru Klinting.

5. Babad Mataram: Pecinan Dumugi Perang Mangkubumen. Babad Mataram ini mengisahkan sejarah Kerajaan Kartasura di bawah pemerintahan Sunan Paku Buwono II, peristiwa Geger Pecinan (1740-1743), Perang Madura (1743-1745), hingga perpindahan keraton ke Surakarta. Kisah babad ini dilanjutkan dengan wafatnya Paku Buwono II (20 Desember 1749), serta proklamasi Pangeran Mangkubumi sebagai raja merdeka (11 Desember 1949). Babad Mataram ini ditulis atas prakarsa Sri Sultan HB VII pada tahun (1894-1895).

6. Babad Ngayogyakarta: Sri Sultan HB I – HB III. Babad ini menceritakan sejarah Yogyakarta, dimulai dari pembagian daerah kekuasaan Surakarta sesuai dengan Perjanjian Giyanti.

7. Gambar Kereta Kanjeng Nyai Jimat. Kereta ini dipergunakan Sri Sultan HB I (1755-1792) hingga Sri Sultan HB III (1812-1814). Kereta ini dibuat di Belanda antara tahun 1740-1750. Berdasarkan catatan yang ada, kereta ini merupakan hadiah dari Gubernur Jenderal VOC, Jacob Mussel (1750-1761) kepada Sri Sultan HB I setelah Perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Setelah tidak dipergunakan, kereta Kanjeng Nyai Jimat diposisikan sebagai kereta pusaka yang terus dijamasi pada setiap bulan Sura.

8. Kanjeng Kyai Tandhu Lawak, diletakkan di ruangan pameran yang gelap. Tandu ini pernah digunakan untuk menandu HB I pada masa tuanya dari keraton menuju Masjid Gedhe untuk melaksanakan shalat Jumat. Tandu ini dipikul oleh delapan orang abdi dalem. Empat abdi dalem berada di depan, dan empat di belakang. Kemudian dua abdi dalem yang lain mengiringi. Seorang memegang payung, dan satu lagi memegang sapu lidi untuk menyapu jalan yang akan dilalui oleh tandu tersebut.

9. Batik Yogyakarta. Perjanjian Jatisari (15 Februari 1755) menghasilkan perbedaan corak kebudayaan Surakarta dan Yogyakarta, termasuk pula pada seni batiknya. Batik gaya Yogya memiliki warna khas. Warna dasaran atau latar batik gaya Yogyakarta adalah warna putih atau hitam (biru kehitaman).

10. Foto tari-tarian berwarna hitam putih. Terlihat sekali bahwa foto-foto ini diambil dahulu kala di Bangsal Pagelaran. Beberapa tari-tarian yang dibingkai adalah Tari Bedhaya Ketawang, Tari Beksan Wanara, dan Tari Srimpi. Riasan penari juga terlihat masih begitu sederhana.

11. Gambar tata cara prajurit Keraton Yogyakarta berbaris dan menembakkan senjata.

12. Benda-benda pusaka atau regalia yang disebut Kanjeng Kyai Upacara. Benda pusaka ini berasal dari emas. Digunakan untuk mengiringi Sri Sultan pada saat miyos (berjalan keluar) untuk menghadiri upacara-upacara besar di keraton. Ada delapan nama beserta bentuk Kanjeng Kyai Upacara ini, yaitu Banyak (angsa), Dhalang (kijang), Sawung (ayam jantan), Galing (merak), Hardawalika (naga), Kutuk (kotak uang), Kacu Mas (saputangan), dan Kandil (lampu minyak).

13. Gamelan Kanjeng Kyai Kebo Ganggang yang ditempatkan di barat pintu masuk Sitihinggil.

Di Bangsal Manguntur Tangkil, kita bisa memperoleh banyak informasi mengenai Keraton Yogyakarta dan wilayah kekuasannya. Salah satu yang menarik dan sangat unik adalah penjelasan filosofis mengenai garis imajiner yang menghubungkan letak Gunung Merapi, Tugu, Kraton Yogyakarta, Panggung Krapyak, dan Laut Selatan membentuk satu garis lurus. Kita juga bisa melihat maketnya.

Sementara Bangsal Manguntur Tangkil sendiri merupakan singgasana Sultan saat menghadiri upacara Gerebeg, juga digunakan untuk melantik seorang sultan. Bangsal ini terakhir kali dipergunakan pada tanggal 7 Maret 1989 yaitu pada saat KGPH. H. Mangkubumi, SH. dilantik menjadi Sultan HB ke X.

Sebelum meninggalkan Sitihinggil, aku menyempatkan menulis sesuatu sebagai catatan pengunjung.

Mengabadikan Moment

Oh ya, sebetulnya aku tidak begitu suka difoto. Tapi kali ini it’s good untuk mengabadikan moment.

Pose santai…
Dulu aku ingin jadi penari balet. Karena tidak kesampaian, beginilah jadinya..
Meskipun mereka menjadi prajurit Keraton Yogyakarta, tapi mereka sangat ramah dan murah senyum.
Stand makanan dan minuman ringan di pelataran Bangsal Pagelaran.

Sebetulnya Pameran Sekaten juga menyediakan beberapa photo booths baik di Sitihinggil maupun di sekitar Bangsal Pagelaran. Malah Keraton melombakan foto pengunjung yang diupload di akun Instagram dengan hashtag #ngeksisdisekaten2019  #pameransekaten2019. Syaratnya tidak boleh berfoto dengan benda koleksi, jadi boleh berfoto di photo booths atau tempat-tempat lain yang diperizinkan. Bagi tiga pemenang yang terpilih akan mendapatkan Samsung Galaxy Tab. Tapi aku sendiri, jujur saja tidak PD untuk foto di photo booths tersebut. HEHEHE.

Melihat relief perjuangan Pangeran Mangkubumi (HB I) di belakang Bangsal Pagelaran.
Ini kelihatannya perutku sedang gatal. HAHA.

Jangan Lupa Mampir ke Kompleks Masjid Gedhe

Setelah puas mengelilingi Pameran Sekaten di Kompleks Sitihinggil dan berfoto di area sekitar Bangsal Pagelaran, aku mampir ke Kompleks Masjid Gedhe yang terletak di barat Alun-Alun Utara. Saat itu, di Masjid Gedhe sedang berlangsung pengajian. Namun entah mengapa aku tidak ingin masuk. Aku justru memutuskan untuk berjalan ke tempat Gamelan Sekati yang bernama Kanjeng Kyai Nagawilaga berada, yaitu ke Pagongan Lor. Sementara di sebelah selatan sana di Pagongan Kidul, bernama Kanjeng Kyai Gunturmadu, tapi aku tidak mengunjunginya. Gamelan Sekati merupakan seperangkat gamelan yang terus dimainkan oleh para wiyaga (pemain gamelan) selama lima hari sebelum Perayaan Gerebeg Sekaten. Keduanya miyos (dikeluarkan) dari Kompleks Keraton menuju Pagongan di Kompleks Masjid Gedhe pada tanggal 3 November malam dan kondur (dikembalikan) pada tanggal 9 November malam.

Aku mengapresiasi dan mendukung sekali pelaksanaan Pameran Sekaten tahun ini. Aku belajar banyak dari agenda ini dan berkesempatan menjadi salah satu partisipan pelatihan adalah wujud dukunganku. Berharap perayaan Sekaten berikutnya masih diwarnai dengan agenda-agenda yang sarat makna dan budaya seperti tahun ini. At least, terima kasih Keraton Yogyakarta ! Atas berkat Tuhan dan dukungan semesta, semoga bisa membawa pengaruh positif untuk semua.

13 thoughts on “Mengunjungi Pameran Sekaten 2019

Leave a comment