Sinoman

Lagi-lagi saya akan bercerita tentang salah satu budaya Jawa yang masih dijunjung tinggi di wilayah pedesaan hingga saat ini, yaitu menggunakan jasa sinoman. Menyebutkan istilah sinoman selalu mengarahkan ingatan saya pada tembang macapat Sinom dan sinom yang berarti daun asam muda. Tapi tentu bukan itu pengertian dari sinoman yang saya maksud. Sinoman di sini merupakan bagian dari tradisi pramuladhi dalam budaya Jawa atau tata cara mulia melayani tamu bersantap. Sementara menurut KBBI, sinoman berarti sekelompok pemuda yang membantu orang yang sedang mempunyai hajat sebagai pelayan tamu (terutama di pedesaan). Biasanya pemuda-pemudi tersebut berasal dari desa setempat yang telah tergabung dalam organisasi karang taruna. Mereka akan diminta nyinom (menjadi sinoman) ketika ada warga yang menggelar hajat lamaran, resepsi pernikahan atau ngundhuh mantu, pengajian akbar, syukuran, dan hajat besar lainnya yang menghadirkan banyak tamu. Sehingga, semakin banyak tamu undangan pada suatu acara, semakin banyak pula sinoman yang dibutuhkan.

Sinoman pada dasarnya merupakan bagian dari budaya gotong royong yang menjadi ciri khas kehidupan masyarakat desa. Pekerjaan ini dilakukan secara sukarela dan untuk kepentingan sosial. Itulah mengapa, jarang sekali ada warga desa yang menggelar hajatannya di hotel atau di gedung lengkap dengan jasa Wedding Organizer. Mereka lebih memilih menggelar hajatan di rumah sendiri, memercayakan segala titik pleniknya kepada tetangga sekeliling mulai dari memasang tarub/tenda hingga membongkarnya setelah acara selesai. Termasuk di dalamnya memasak makanan, mengantar ulih-ulih, dan melayani tamu undangan yang bisa dikerjakan oleh anak-anak muda.

Sinoman memiliki tugas yang hampir sama dengan pelayan tamu hotel atau yang biasa bekerja di catering, hanya saja mereka terlihat lebih tradisional, baik dari segi penampilan (biasanya berseragam busana adat jawa, batik, atau pakaian formal rapi) maupun tata cara melayani tamu yang lebih mencirikan adab Jawa.

Misalnya, dalam sebuah acara resepsi pernikahan, sinoman bertugas menyajikan snack, main course (hidangan utama), dessert, dan merefill minuman tamu sesuai dengan sessinya masing-masing. Sebelum sinoman menjalankan tugas, biasanya ada seseorang (entah panitia hajatan, ketua sinoman, atau ketua karang taruna) yang memberikan instruksi kepada sinoman tentang kapan mereka harus melayani tamu, bagian meja mana saja yang mereka layani, serta memantau jika ada hidangan yang kurang. Kemudian dua orang sinoman pemuda dan pemudi akan dipasangkan untuk menghidangkan sajian ke meja tamu.

Saat tiba waktunya sinoman keluar, mula-mula sinoman pemudi akan berjalan menyebar dan berdiri di beberapa titik meja tamu. Setelah itu, sinoman pemuda datang membawa nampan yang berisi hidangan (makanan dan minuman). Masing-masing dari mereka berjalan menyebar menghampiri sinoman pemudi. Selanjutnya, sinoman pemudi akan meletakkan hidangan tersebut satu persatu di meja. Ia meletakkannya satu persatu dengan tangan kanannya dan dengan posisi badan sedikit membungkuk, sementara tangan kirinya seolah mendekap perut, berfungsi untuk mencegah bajunya agar tidak tersentuh hidangan. Prosesi menghidangkan jamuan ini memang harus dilakukan dengan halus, luwes, dan penuh sopan santun.

Ada tata cara lain dalam menghidangkan sajian yang dilakukan oleh sinoman. Tata cara ini biasanya digunakan saat tamu undangan pada suatu hajatan dihadiri oleh laki-laki dewasa dan duduk lesehan di atas tikar. Contohnya pada acara tradisi Nyadran dan Saparan. Untuk membagikan hidangan, sinoman pemuda harus berjalan jongkok dengan nampan berisi hidangan yang diangkat sejajar dengan kepalanya. (NB: Tata cara ini dapat diketahui dengan mudah oleh orang yang sudah pernah melihatnya. Hehe.)

Foto: dokumen pribadi

Di desa saya, tugas menjadi sinoman bukan lagi sebuah panggilan sukarela, melainkan menjadi keharusan bagi pemuda-pemudi. Budaya ini menjadi bagian dalam hidup bermasyarakat yang tidak boleh diabaikan dan dinilai sebagai beban. Saya pernah bercerita di judul sebelumnya, bahwa seorang pemuda/pemudi yang antisosial dan tidak pernah mengambil peran sebagai sinoman di acara tetangganya, sekalipun ia adalah orang yang paling modern, ia bisa menghadapi kesulitan ketika menggelar acara pernikahannya di rumah suatu hari nanti. Dalam hal ini pemuda/pemudi bukannya tidak dibebaskan untuk hidup sesuai keinginannya tanpa gangguan dari masyarakat, sebab kita tahu, selalu ada konsekuensi yang harus dilakukan seseorang ketika menjadi bagian dari masyarakat manapun itu.

Saya pribadi bukan pemudi yang telah menguasai tugas sinoman dengan baik, namun saya selalu berusaha untuk dapat diandalkan. Saya berpikir, kecakapan saya akan semakin bagus ketika mendapatkan pengalaman lagi dan lagi. Juga, kesediaan saya dapat berarti bagi orang lain hingga saat tiba masanya nanti saya pun dapat merasakan hal yang serupa.

Jadi, melihat pengalaman saya di awal bertugas sebagai sinoman, ada banyak hal tidak mengenakkan yang saya alami dan membuat saya lebih banyak belajar. Ingatan pertama saya tentu mengarah pada seragam sinoman yang kebesaran dan membuat saya kurang nyaman (saya yakin orang yang melihatnya pun merasa kurang nyaman). Bagian bawah dan lengannya kepanjangan, jadi saya harus menyingsingkannya sedikit ketika hendak menaruh hidangan ke meja tamu. Saya sempat khawatir kalau ujung lengannya tidak terkontrol sampai bisa mencelup atau menyentuh makanan, tapi untungnya hal itu belum pernah terjadi. Kedua, rok saya pernah terinjak kaki teman saya ketika kami sedang melayani tamu. Saya sedikit tersandung dan harus berusaha seolah tidak terjadi apa-apa. Ketiga, saya menarik kembali hidangan yang hendak diterima tamu. Terkadang memang ada tamu yang meminta langsung hidangannya, jadi saya berusaha untuk melayaninya sebaik mungkin. Tapi waktu itu, saat saya mengulurkan piring hidangan ke salah satu tamu, ada tamu lain yang meminta satu hidangan lagi untuk anaknya yang masih kecil. Saya mendengar anaknya rewel, jadi dengan spontan saya menarik piring yang hampir diterima tamu dan memberikannya untuk anak itu. Saya tahu ini sangat memalukan bagi saya dan mengecewakan bagi si tamu, jadi saya meminta maaf berulangkali kepada tamu itu ketika memberikan hidangan yang baru. Saya sangat menyesal kenapa melakukan kecerobohan itu. Keempat, ketika saya dan partner saya hendak merefill minuman teh, saya terkejut karena teko yang saya angkat dari nampan ternyata sangat panas dan berat karena berisi penuh. Tekonya hampir oleng, tapi untungnya partner saya dengan sigap menyodorkan nampan sehingga teko itu tidak terjatuh.

Demikianlah. Saya jadi penasaran apakah jasa sinoman masih akan terus dibutuhkan dan dipertahankan oleh masyarakat desa di 10 tahun mendatang. Bagaimana menurut kalian?


Kosa Kata:

  1. Nyadran adalah suatu rangkaian budaya yang berupa pembersihan makam leluhur, tabur bunga, dan puncaknya berupa kenduri selamatan di makam leluhur.
  2. Saparan sering diartikan sebagai merti desa (peringatan hari lahir desa). Tradisi ini biasa dilakukan pada bulan Safar.
  3. Ulih-ulih atau ater-ater adalah makanan yang biasa dibagikan oleh orang yang mempunyai hajatan untuk warga desa dan kerabatnya. Biasanya berupa nasi dan lauk-pauk yang ditempatkan pada besek anyaman. Namun kini, ulih-ulih juga bisa berupa paket roti atau pastry.

6 thoughts on “Sinoman

  1. Tata cara nyinomi orang yang duduk lesehan seperti di atas memang sudah jarang dipraktikkan di lapangan. Sebab, membawa nampan berisi makanan sambil berjalan jongkok ternyata sulit juga. Salut buat pemuda jaman dulu

    Liked by 1 person

Leave a comment