Rasa yang Tertinggal di Balik Buku yang Kau Pesan

Pinterest

/1/
Minggu pagi bahagia. Saking bahagianya aku mengunyah nasi goreng sosisku sambil tersenyum-senyum sendiri. Kemarin siang aku baru saja memperoleh honor menulis yang terbilang lumayan besar jumlahnya. Dan malamnya, aku sudah menganggarkan sepertiganya untuk memenuhi hasratku; membeli buku. Semalaman di tempat tidur, aku memilih buku-buku bagus di sebuah online bookstore di Instagram yang berdomisili di daerah Depok Sleman, Jogja. Nama akunnya “Rasa Sastra”, keren juga. Kelihatannya terpercaya dengan jumlah followers melebihi 12K dan testimoni-testimoni customer yang ditampilkan di highlight. Continue reading “Rasa yang Tertinggal di Balik Buku yang Kau Pesan”

Jajan Buku Tahun 2019

Hampir di penghujung tahun 2019. Kulihat banyak bibliomania dan pembaca yang biasa-biasa saja mulai menghitung berapa banyak buku yang mereka lahap tahun ini. Kemudian dengan bangga mengunggah gambarnya di media sosial, beserta caption yang menyatakan tercapainya target mereka. Ada yang tercapai, tidak tercapai, dan tidak pernah memikirkan pencapaian karena memang tidak membuat target. Ada yang jelas-jelas sudah menuntaskan berpuluh-puluh buku, masih juga belum puas dengan pencapaian itu. Dengan rendah hati dan agak kecewa mengatakan kalau yang dibacanya masih tergolong sedikit. Lalu ada yang menanggapinya sinis atau penuh pujian. Menarik sekali. Sementara aku yang membacanya hanya bisa tersenyum tanpa ingin meninggalkan komentar ataupun sekadar thumbs up emoji. Menuliskan apa yang kugagas dan kurasakan di halaman blog ini menurutku jauh lebih memuaskan. Continue reading “Jajan Buku Tahun 2019”

Harun Yahya? Kutemukan Jawabannya di Buku Harun Yahya Undercover

Aku mulai familiar dengan nama Harun Yahya semenjak duduk di kelas dua SMP, tepatnya tahun 2011. Waktu itu guru Pendidikan Agama Islam sering mengajak kami untuk belajar di teras musholla. Usai materi, kami pun diperbolehkan untuk menonton video pembelajaran tentang agama Islam dari VCD-VCD yang tak terhitung jumlahnya. Continue reading “Harun Yahya? Kutemukan Jawabannya di Buku Harun Yahya Undercover”

Mengunjungi Pameran Sekaten 2019

Menjadi salah satu bagian dari masyarakat Yogyakarta adalah kebahagiaan yang Tuhan berikan padaku sejak lahir. Aku sangat bersyukur atas anugerah ini. Kota kelahiranku yang tidak diragukan lagi keistimewaannya ini memang termasuk kota yang paling dirindukan wisatawannya. Aku berani bilang begini karena memang ada banyak buktinya, yaa.. Apalagi aku punya banyak teman luar kota yang sering main ke Jogja, dengan alasan “Kangen jalan-jalan ke Malioboro, ke Keraton…” atau hanya sekedar “Kangen makan gudeg…” Dan banyak yang bilang “You’re so lucky tinggal di Jogja!” OH, Indeed! 

Continue reading “Mengunjungi Pameran Sekaten 2019”

Melihat Koleksi Museum Wayang Beber Sekartaji

Kali ini, saya berkunjung ke sebuah museum yang menyimpan banyak koleksi wayang beber, namanya Museum Wayang Beber Sekartaji. Museum yang didirikan pada tahun 2017 ini berlokasi di Gg. Pancasila, Dusun Kanutan, Kelurahan Sumbermulyo, Bambanglipuro, Bantul, Yogyakarta. Jarak menuju museum ini sekitar 1 km dari rumah saya, sehingga bisa ditempuh dalam waktu kurang dari 10 menit. Namun karena kedekatan jarak itulah yang justru membuat saya kerap menunda-nunda untuk mengunjunginya.

Bangunan Museum Wayang Beber Sekartaji. (Sumber: Gudeg.net)

Jika dilihat dari depan, Museum Wayang Beber Sekartaji ini bukanlah museum besar seperti kebanyakan museum yang dikelola oleh pemerintah. Museum ini milik seorang seniman yang merupakan penduduk asli Dusun Kanutan Sumbermulyo sendiri, bernama Indra Suroinggeno. Bangunan museum berada di samping dan menyatu dengan rumahnya, atau bisa kita sebut bahwa museum itu juga bagian dari rumahnya.

Sebelum memasuki bangunan museum, saya dipersilakan duduk di teras rumah sang pemilik museum atau yang lebih akrab saya sapa Mas Indra. Sayapun mengutarakan maksud kedatangan saya yaitu ingin mengenal wayang beber lebih dalam melalui koleksi-koleksi yang terpajang di museumnya. Saya diterima dengan hangat. Mas Indra sendiri akan menjelaskan mengenai koleksi museumnya dan menjawab hal-hal terkait yang ingin saya tayakan. Beruntung sekali, kebetulan saat itu memang tidak ada pengunjung selain saya seorang.

Sekilas tentang Wayang Beber

Perkembangan wayang beber memang sangat unik dari masa ke masa. Bermula pada tahun 1145 M dengan merepresentasikan cerita dalam relief candi yang digambarkan di atas daun lontar, hingga kini dengan media lukisnya yang menggunakan kanvas.

Sekarang kita bisa lihat bahwa wayang beber memiliki kekhasan yaitu menyerupai lukisan dengan gambar tiap adegan cerita wayang. Menurut Mas Indra, asalkan lukisan itu berisi adegan cerita dan dipentaskan atau dimainkan, itu sudah menjadi wayang beber. Karena jika kita mengikuti perkembangannya, sekarang ada wayang beber metropolitan dengan lukisan yang lebih modern dan keluar dari konteks wayang versi orang Jawa yang justru laku dipentaskan di luar negeri.

Pementasan wayang beber juga lebih sederhana dengan pementasan wayang kulit. Sang dalang menggulung dan menggelar (dibeberkan) gulungan wayang beber saat pementasan berlangsung.

Sedikit menyinggung tentang bentuk wayang, mungkin kita lebih familiar dengan wayang kulit, wayang purwo, atau wayang kamasan khas Bali yang digambar di atas daun lontar. Padahal wayang beber turut mengambil bagian penting dalam sejarah, karena sudah ada sejak era Hindu-Budha di Nusantara. Akan tetapi stilasinya (bentuk wajahnya) masih persis berbentuk wajah manusia. Barulah ketika para Wali Songo datang menyebarkan agama Islam, stilasi wayang beber berubah, sebab dalam keyakinan Islam tidak memperbolehkan menggambar wajah manusia sama persis dengan aslinya. Pada zaman ayah Sultan Agung Hanyokrokusumo berkuasa pun, stilasi wayang diubah lagi menjadi bentuk wayang yang lebih kita kenal sekarang ini.

Stilasi wayang dari masa ke masa

Inspirasi Mendirikan Museum Wayang Beber

Mas Indra menerangkan apa yang menginspirasinya mendirikan museum ini. Semua berawal dari kenangan hiburan masa kecilnya yang hanya diwarnai dengan pentas kethoprak (teater khas Jawa) dan pertunjukan wayang. Seiring berjalannya waktu ia menyadari bahwa ada sesuatu yang hilang dari kehidupan orang Jawa. Dahulu orang bersama-sama menonton dan menghargai wayang karena sudah menjadi bagian dari tata kehidupan mereka, tapi sekarang orang merubah citranya karena tuntutan pekerjaan. Budaya seolah terhempas tanpa terasa.

Disamping itu, ia banyak mendengar kekaguman masyarakat luar negeri pada budaya Indonesia sewaktu bekerja di Italia sepanjang tahun 2011-2012. Pengalaman itu membuat dirinya semakin membuka kesadaran akan pentingnya mengangkat kembali budaya Indonesia, apalagi kakeknya sendiri dahulu adalah abdi dalem Keraton Yogyakarta. Ia merasa malu apabila tidak dapat ikut serta melestarikan kebudayaan lokal.

Sekembalinya ke Indonesia, sosok yang juga dikenal sebagai pelukis ini mulai meniti karir di Museum Sonobudoyo, Dinas Kebudayaan DIY, hingga Museum Purbakala Pleret. Ia juga mendirikan sanggar yang diberinya nama Sanggar Bhuana Alit pada tahun 2015. Sanggar itu sebagai wahana sekaligus upayanya agar anak-anak yang tergabung di dalamnya bisa belajar dan ikut melestarikan kesenian lokal seperti jathilan, belajar memainkan gamelan, dan membuat wayang. Menurutnya, ia ingin anak-anak mempunyai rasa cinta yang besar terhadap budaya sendiri.

Jalan untuk mewujudkan impiannya mengangkat budaya lokal semakin terbuka ketika ia berhasil memperoleh beasiswa Sri Sultan. Ia memulai studinya tentang pewayangan. Pada masa studinya, ia kerap kali tidak sabaran dalam proses pemahatan wayang. Ia ingin apa yang digarapnya cepat membuahkan hasil. Suatu ketika ia justru melukis wayang. Gurunya yang bernama Sugiyo bilang bahwa ia sedang melukis wayang beber. Kemudian gurunya menjelaskan sekilas tentang wayang beber yang membuatnya terkagum-kagum. Nah, dari situlah muara perkenalannya dengan wayang beber.

Rasa penasaran dan ketertarikan untuk mempelajari wayang beber lebih dalam membawanya untuk menemui maestro-maestro wayang beber. Salah satunya ialah Hermin Istiariningsih yang disebut-sebut sebagai satu-satunya perempuan maestro wayang beber di Indonesia, yang ia temui di Solo. Ia juga melakukan studi pustaka untuk pendalaman baik dari segi sejarah maupun cerita (lakon) wayang beber tersebut. Ia bisa menarik kesimpulan bahwa seluk beluk wayang beber memang luar biasa tak ternilai harganya.

Beruntung Mas Indra didukung oleh rekan-rekan permuseuman dan senimannya. Tawaran untuk mendirikan museum pun datang dari pemilik Museum Tani, tapi awalnya ia masih ragu karena belum punya koleksi yang cukup untuk mengisi bakal museumnya. Pemilik Museum Tani bilang kalau koleksi lukisannya yang bisa disebut sebagai wayang beber itu bisa menjadi modal awal koleksinya. Disitu ia sudah merasa yakin bisa mendirikan museum, apalagi jarang sekali ada yang mengangkat wayang beber. Syarat-syarat dasar pendirian museum ia penuhi satu persatu mulai dari ruangan, struktur organisasi, modal, hingga koleksi. Syarat-syarat lain yang diajukan pun ia penuhi juga termasuk aktif di forum-forum yang membahas kebudayaan terutama permuseuman. Tahun 2017 menjadi tahun penting karena saat itulah Museum Wayang Beber berdiri, dan diresmikan oleh Bupati Bantul, Drs. H. Suharsono. Penyempurnaan masih terus dilakukan secara bertahap.

Hadirnya museum ini memang patut kita apresiasi dan kita dukung. Karena apa? Karena museum ini adalah museum pertama bahkan satu-satunya di Kabupaten Bantul, Indonesia, bahkan dunia yang khusus mengoleksi wayang beber. Mas Indra mempertegas bahwa pendirian museum ini adalah bentuk kepeduliannya terhadap budaya Jawa khususnya wayang beber. Adanya museum ini juga diharapkan dapat menyelenggarakan pendidikan bagi masyarakat luas terkait wayang beber, tradisi, dan seni budaya yang dimiliki Nusantara. Museum ingin menginspirasi masyarakat agar mau menjaga budaya sendiri supaya tidak terjadi “Wong Jawa Ilang Jawane” atau orang Jawa yang kehilangan spirit ke-Jawa-annya.

Bernama Museum Wayang Beber Sekartaji

Nama Sekartaji diambil dari salah satu tokoh perempuan yang terkenal dalam cerita wayang beber yaitu Dewi Sekartaji (Galuh Candrakirana) kekasih Panji Asmorobangun. Sekartaji juga merupakan Condrosengkolo, singkatan dari “Semedi Cakra Jawata Aji” yang melambangkan angka 1951 Tahun Jawa atau 2017 Masehi, tahun berdirinya museum. Semedi Cakra Jawata Aji sendiri mempunyai makna “Meditasi Menuju Pusat Energi Dewa-Dewa Agung”.

Penamaan dengan tokoh perempuan yang lebih dikenal masyarakat Jawa ini juga sebagai tanda bahwa guru Mas Indra Suroinggeno adalah seorang perempuan (Bu Ning) yang telah menganggapnya sebagai anak sendiri. Selain itu ia juga terinspirasi oleh tokoh-tokoh perempuan yang begitu gigih dalam berjuang dan penuh kesabaran.

Koleksi Museum

Di dalam museum kita bisa melihat koleksi wayang beber karya maestro wayang beber seperti Hermin Istiariningsih, Dani Iswardana, Seruni Bodjawati, dan karya seniman wayang beber lainnya termasuk karya Mas Indra Suroinggeno sendiri. Corak maupun kisah wayangnya beragam, mulai dari klasik hingga kontemporer, dari kisah cinta hingga kisah kepahlawanan. Kisah klasik mengangkat cerita Mahabharata, Ramayana, Panji Ing Jenggala, atau Dhamarwulan. Kemudian ada cerita Panji lainnya yaitu Remeng Mangunjaya dan Jaka Kembang Kuning. Tiap wayang beber mempunyai umur yang berbeda. Ada yang umurnya sudah sangat tua (klasik) dan ada yang baru puluhan tahun tetapi mengangkat cerita klasik.

Untuk saya sendiri, ada dua koleksi wayang beber yang paling berkesan. Pertama, melukiskan kehidupan masyarakat yang berdasar pada Pancasila. Wayang beber ini dilukis sendiri oleh Mas Indra dengan panjang kain atau gulungan sekitar 2 meter. Pada tiap segmen berisi tentang penggambaran masing-masing sila Pancasila. Kedua, wayang beber yang melukiskan Panji Asmorobangun meninggalkan Dewi Sekartaji. Penggambaran mata Panji sedikit buyar, karena sebetulnya posisinya sedang meditasi. Ia datang ke hadapan Dewi Sekartaji sebagai Remeng Mangunjaya. Dewi Sekartaji dengan posisinya duduk merendah bertanya, “Sebesar apa cintamu padaku?” Panji menjawab, “Setinggi langit dan seluas jagat raya.” Lalu ia balik bertanya, “Sebesar apa cintamu padaku?” Dewi Sekartaji menjawab, ” seujung kukuku. Panji merasa jatuh derajatnya dan ia ngambek hendak pergi. Padahal yang dimaksud Dewi Sekartaji atas jawabannya, setiap kali kuku dipotong maka ia akan tumbuh lagi. Jadi cintanya tidak akan pernah habis dan hilang.

Wayang beber yang mengisahkan Panji dan Dewi Sekartaji
Wayang Beber ini terdiri dari 5 segmen/babak. Tiap babak menggambarkan kehidupan masyarakat berdasarkan masing-masing sila Pancasila.

Kebanyakan wayang beber dibuat dengan menggunakan media kanvas. Banyak sekali yang dipajang di dinding, dan banyak pula yang masih berupa gulungan karena ukurannya lebih panjang. Kita bisa membuka-bukanya sendiri karena banyak koleksi yang memang boleh dipegang oleh pengunjung. Media yang lain adalah dengan menggunakan kertas daluang daun lontar, dan kuningan pipih berukuran kecil yang wayangnya hanya bisa dilihat dengan kaca pembesar.

Mas Indra Suroinggeno membuka daluang koleksinya

Koleksinya juga diperlengkap dengan gamelan-gamelan yang biasa digunakan untuk mengiringi pertunjukan wayang beber. Gamelan ini umumnya berukuran lebih kecil tapi umurnya sudah tua, sebab dahulu lebih mudah dan ringan untuk dibawa-bawa dari pertunjukan satu ke yang lainnya. Salah satu gamelan yang menyita perhatianku adalah gong kemodhong. Bentuknya yang kecil kotak dan terbuat dari kayu memang jauh dari gambaran gong yang kita tahu, tapi yang menarik adalah keempat sisinya memiliki satu gambar punakawan. Gamelan ini tergolong klasik.

Gong kemodhong dengan ukiran wayang

Kita juga bisa melihat blencong yang bentuknya mirip dengan teplok (penerangan dengan api), yang digunakan saat pertunjukan wayang beber. Gerak api dari blencong berfungsi agar bayangan wayang seolah hidup dan memiliki ruh, beda dengan sinar lampu yang cahayanya statis sehingga tidak bisa menimbulkan bayangan.

Di pelataran museum juga ditaruh beberapa benda sejarah yang terbuat dari batu, seperti lesung (untuk menumbuk padi) dan lain sebagainya.

Hingga saat ini, museum terus banyak dikunjungi oleh wisatawan lokal maupun mancanegara. Museum tidak hanya berfokus pada penerimaan pengunjung dan penjelasan koleksinya saja, tapi juga terbuka untuk pengunjung dalam jumlah banyak yang ingin melakukan mini trip dan belajar banyak hal di museum. Misalnya dalam waktu dua jam, para pengunjung sudah bisa menyaksikan pertunjukan wayang beber dan kesenian tradisional, berlatih memainkan gamelan, melihat koleksi, dan makan masakan tradisional. Untuk itu, biasanya museum melibatkan anak-anak Sanggar Bhuana Alit untuk menampilkan kesenian tradisional seperti jathilan atau reog. Masyarakat sekitar juga dilibatkan untuk membantu memasakan masakan tradisional.

Museum buka dari pukul 8 pagi hingga 4 sore. Sebaiknya kita menghubungi pemilik museum terlebih dahulu jika inginĀ  berkunjung, melalui akun Instagram Museum Wayang Beber Sekartaji. Dengan begitu, kita bisa bertemu langsung dengan pemilik museum dan mendapat penjelasan yang maksimal darinya. Kunjungan pribadi maupun rombongan akan selalu diterima dengan senang hati. Untuk memasukinya pun kita tidak perlu membayar tiket atau bea retribusi apapun, alias free entry.

Kabar baiknya museum yang sudah mendapat tempat di Forum Komunikasi Museum Bantul (FKMB) kini semakin dilirik dunia permuseuman dan aktif dilibatkan dalam acara-acara baik di dalam maupun luar daerah. Selain itu, museum juga akan menambah ruangan baru yang ketiga dalam waktu dekat ini.

Ada banyak sekali cara yang bisa kita lakukan untuk ikut menjaga dan merawat kebudayaan Nusantara, salah satunya adalah dengan mengunjungi museum. Jadi, yuk ke museum!