Dari Pertama Ngeblog Hingga Gabung Bersama Komunitas Ikatan Kata

Sejak kapan, sih, aku mulai ngeblog? (Sebuah utas)

Menjawab pertanyaan ini, aku jadi ingin bercerita terlebih dahulu tentang awal mula aku terdorong untuk menulis. Sebab motif ini erat sekali kaitannya dengan keinginanku  menulis di blog di kemudian hari. Langsung saja aku mulai. Kalian pasti tidak akan percaya, kalau delapan tahun yang lalu tepatnya ketika duduk di bangku SMP, aku sempat menjadi korban bullying teman-teman sekelas dan dijadikan kalahan. Entah apa sebabnya mereka melakukan itu, padahal kalau ada tugas kelompok mereka justru berebut ingin sekelompok denganku. Aneh, kan? Aku pun memendam rasa semacam sakit hati bercampur kecewa bercampur menerima bahwa aku harus mengalah. Kalau mencoba melakukan pembelaan, aku takut tidak punya teman.

Tak ada yang pernah mendengar curhatanku itu termasuk orang tuaku sendiri, kecuali kertas kosong yang perhatian padaku waktu itu. Aku mulai menumpah-ruahkan apa-apa yang aku pendam di atas kertas. Dan karena semakin rutin menulis—yang berarti keadaan mentalku belum memulih, aku meminta mama membelikanku buku catatan yang dijilid dengan kawat spiral, supaya aku punya buku khusus untuk menulis. Lama-lama, aku tidak hanya menulis tentang ratapan mengapa mereka suka mengolokku dan merusak sepedaku. Aku mulai terinspirasi untuk menuliskan apa yang menimpaku menjadi sebuah cerita pendek, dan puisi-puisi melankolis—sumpah! Kalau sekarang dibaca lagi, cuma bikin garuk-garuk kepala dan ngakak sendiri.

Semesta rupanya tidak mensponsori pembullyan itu berakhir tragis. Salah satu materi pelajaran TIK adalah kami diajari membuat blog pribadi di media Blogspot. Setelah guru TIK menilai blog yang kami buat, kami boleh suka-suka mengisi blog tersebut dengan tulisan kami. Walaupun kalau diingat-ingat, tak ada satupun teman kelasku yang merawat blognya, selain aku; siswi yang pendiam, kesepian, dan butuh teman curhat. Praktis blog pertamaku itu menjadi sahabat baru yang bersedia mendengar keluh kesahku di tahun pertama sekolah. Hebatnya ia tak pernah menyalahkanku sedikitpun, ia berani mengambil risiko atas kesediaannya menjadi sahabatku. Kemudian di tahun kedua, aku memang sudah tidak menjadi bahan bullyan, tapi aku masih menulis di blog. Hanya saja lebih cenderung ke karangan-karangan fiksi ala anak SMP. Ternyata kebiasaan menulis —disamping membaca, memotivasiku untuk melakukan improvisasi dan terus mengexplore kemampuan menulisku. 

Salah seorang guru matematikaku yang juga seorang blogger bernama Ahmad Zaki, mengetahui tulisan-tulisanku di blog. Ia berkata bahwa ide tulisan-tulisanku terbilang bagus untuk seumuran anak SMP. Walaupun sebetulnya tulisanku nggak bagus-bagus amat, sih. Kemudian ia pun mengusulkanku pada guru Bahasa Indonesia agar berkenan mengikutkanku di berbagai ajang lomba yang membutuhkan kreativitas menulis. Usulan itu disetujui hingga aku berulang kali diikutkan dalam berbagai lomba, seperti lomba cipta puisi di ajang FLSSN, lomba menulis cerita pendek, lomba menulis surat untuk ibu, lomba mengulas sejarah desa, dan mengisi kolom majalah sekolah.

Jadi kesimpulannya, di setiap kejadian memang selalu ada hikmahnya, bukan? Aku tak pernah menyesali itu terjadi di fase kehidupanku. Aku justru harus berterima kasih pada teman-temanku, guru TIK, Mr. Zaki, guru Bahasa Indonesia, dan semua tukang bully yang sudah baik padaku.

Sayang sekali pada tahun 2014, karena sesuatu alasan yang sampai sekarang tak kuketemukan apa itu, aku memutuskan untuk menutup akun blogku. Menutupnya bukan berarti meninggalkan hobi menulis. Aku mulai beralih mengurus sebuah tabloid kecil-kecilan yang tim redaksinya ada aku di dalamnya. Tabloid itu bernama Cakrawala, yang jika diulas panjang sekali serba-serbinya. Aku juga mulai sibuk bekerja sebelum akhirnya memutuskan untuk kuliah.

Baru pada Desember 2018, aku berpikir untuk membuat blog lagi. Kali ini di media WordPress. Alasannya,  aku telah tergabung dalam tim redaksi SID (Sistem Informasi Desa) yang bertugas sebagai pengisi konten di laman web desa. Aku mengambil inisiatif untuk mempublikasikan tulisanku di web desa ke blog pribadiku juga. Selalu kucantumkan link website desa itu dengan harapan pembaca akan melalukan klik dan traffic website pun akan meningkat. Selain untuk kepentingan itu, aku juga mengisi blog dengan tulisan-tulisanku lainnya.

Tapi kelihatannya aku orang yang penuh tapi. Meskipun aku berniat kembali ngeblog dan produktif menulis, tapi aku merasa selalu ada yang kurang dari tulisanku. Aku merasa tulisanku semakin kehilangan ruhnya, tidak berisi, alias nggak begitu greget, gitu. Mungkin karena aku lalai untuk berbenah ditambah seribu alasan yang membawa nama tugas kuliah dan pekerjaan.

Keinginan untuk berkembang itu jelas tetap ada, sekalipun harus menapaki jalan penuh liku. Aku bermanuver dan berusaha agar tulisanku di blog semakin bagus dan tentunya: layak dibaca. Seiring dengan itu aku mulai gencar mencari readers, follow beberapa akun blog yang terbilang keren dan unik. Tiap hari rajin blogwalk dan memberikan komentar, itu menyenangkan sekali. Aku ini seorang introvert, tapi please, jangan jadi introvert yang kebangetan. 

Ya, aku tahu kalau pamor blog di era digital ini cenderung menurun. Netizen lebih suka menulis uneg-unegnya di status WhatsApp atau Facebook. Mereka suka menulis panjang lebar tentang pendapat dan nasihat di sana. Sementara aku sebagai pembacanya hanya bisa mbatin, mengapa mereka tidak leluasa menuliskannya di blog saja? Pendapat dan nasihatnya barangkali lebih bermanfaat untuk orang lain, barangkali lebih tepat sasaran bagi pembaca yang sedang memerlukan.

Saking seringnya menemukan status bermuatan nasihat dan gagasan, aku sempat berniat mengulas itu di blog. Hanya saja aku mengurungkannya, karena ketika sedang asyik blogwalk, aku tidak sengaja menemukan tulisan milik Kak Fahmi Ishfah yang berisi keresahannya sebagai seorang blogger. Tulisannya mewakili gagasanku seutuhnya, bahkan yang ia paparkan jauh lebih detail disertai problem solving. Tulisannya itu telah memberikan angin segar buatku. Tanpa ragu-ragu aku pun mengutarakan kesepakatanku pada gagasannya itu di kolom komentar. Kami pun terlibat obrolan singkat.

Pada akhirnya ia mengajakku bergabung di Komunitas Ikatan Kata, sebuah komunitas blogger yang didirikannya. Sebelumnya aku belum pernah bergabung dengan komunitas blogger manapun. Yang kupikirkan, komunitas blogger pasti terkesan eksklusif dengan anggotanya yang keren-keren. Jadi kemungkinan menjadi anggota baru juga tidak gampang. Aku memerlukan waktu beberapa menit untuk menimbang-nimbang, apakah nanti aku akan mampu menjadi anggota yang tertib dan tidak mengecewakan. Hingga pada pilihan terakhir hanya ada ‘ya’ dan ‘tidak’, dan aku memutuskan untuk memilih ‘ya’. Kalau dipikir-pikir tidak ada salahnya untuk bergabung dengan komunitas yang mengajak anggotanya untuk tumbuh dan berkembang bersama. Ilmu baru yang bermanfaat akan kudapatkan. Pun kesempatan tak datang dua kali.

Setelah melakukan registrasi, aku langsung digabungkan ke grup WhatsApp Ikatan Kata yang merupakan homebasenya komunitas ini. Di grup inilah para blogger yang menjadi Pengikat Kata—sebutan untuk anggota komunitas, saling berinteraksi dan berdiskusi.

Kesan pertamaku terhadap komunitas ini adalah: kreatif dan bersahabat. Kreatif karena komunitas ini menciptakan nuansa belajar penuh challenge yang dikemas dalam KETIK. KETIK singkatan dari Kumpulan Edukasi dan Tantangan Ikatan Kata. KETIK ini berupa edukasi dan challenge menulis yang harus dikerjakan oleh Pengikat Kata, mulai dari KETIK#1 dan seterusnya. KETIK sebagai bentuk upaya agar para anggota bisa membangkitkan proses kreatif menulis yang berguna untuk mengembangkan tulisannya menjadi semakin baik. Kemudian bersahabat. Begitu masuk ke grup WhatsApp Ikatan Kata, sambutan demi sambutan dari anggota lama berdatangan. Tambah teman, tambah saudara, tambah ilmu. Tentu anggota baru tidak akan merasa kesepian, feel free saja untuk ikut nimbrung dan berkomentar. He he he… Dan karena telah terikat dengan komunitas ini, praktis pengunjung blog pribadi pun akan meningkat karena anggota saling melakukan blogwalk. Blog tidak akan sepi.

Baiklah, tulisan ini kelihatannya sudah sepanjang Jalan Daendels. Aku yakin kalian sudah lelah melewatinya. Pesanku sebelum mengakhiri, jika kalian mengalami hal-hal tidak menyenangkan dalam hidup kalian, bersabarlah dan selalu ambil hikmahnya. Dan jika kalian juga ingin tergabung dalam Komunitas Ikatan Kata sama sepertiku, langsung saja registrasi di sini. Atau kalau mau main-main dulu, boleh juga, kok. Tetap semangat menulis! 

58 thoughts on “Dari Pertama Ngeblog Hingga Gabung Bersama Komunitas Ikatan Kata

  1. Hai, Firda. Ulasan yang lengkap dan menarik. Benar apa yang Firda utarakan bahwa setiap segala sesuatu itu ada hikmahnya (bagi mereka yang mau berpikir ke arah itu)

    terima kasih telah bergabung di Ikatan kata, semoga kamu betah dan bisa mengembangkan bakat yang luar biasa dalam hal menulis

    by the way, untuk tanda tanya atau tanda seru itu tidak perlu diberi spasi. Misal : Apa? bukan Apa ? atau Hai, Jo! bukan Hai, Jo !

    Like

  2. Boleh juga tuh ikut registrasi, tapi apakah aku diizinkan?
    Seneng baca tulisannya si mba, memang semua itu yang “pahit”, belum tentu menghasilkan ‘pahit”, biarkan si pembuly menonton sndiri..;-)

    Liked by 1 person

Leave a comment