Ramadan di Tengah Pandemi

Setiap generasi pasti akan ikut merasakan suatu bencana atau kejadian buruk yang terjadi di dunia. Atau katakanlah, manusia tidak akan pernah terbebas dari keduanya selama masa hidupnya. Ada manusia yang mengambil pelajaran darinya, ada pula yang menyangsikan keadilan Sang Maha Kuasa. Kakungku pernah bercerita, ketika masa-masa PKI menyusup ke daerah kami dan ada tetangga yang tergabung di dalamnya, kakung melihat gerombolan PKI menyeret seseorang hingga mengelupas kulit kepalanya. Ada seorang wanita yang juga melihatnya, tapi ia menjadi gila karena terus terbayang kelupasan kulit kepala. Tetangga yang tergabung dalam PKI itu tertangkap dan di penjara selama entah berapa tahun, tapi ketika pulang dia berubah menjadi seorang yang taat beribadah. Aku sendiri pernah mengikuti jamaah solat yang ia imami, hanya saja saat itu aku masih kecil dan tidak tahu kalau ia adalah ex-PKI. Beberapa tahun kemudian aku baru bisa memahami.

Seperti Ramadan di tengah pandemi yang kita alami kini. Pandemi yang ditaksir bakalan usai di hari-hari akhir Ramadan ternyata makin menjadi-jadi. Gubernur dan menteri sampai bela-belain nyanyi di TV supaya masyarakat tidak mudik tahun ini. Aku tidak tahu seberapa besar efeknya. Yang aku tahu, banyak orang masih khusyuk beribadah dan mencari berkah, dan banyak juga yang malah bilang terserah.

Tunggu.. kok kalimatnya jadi berirama begini sih wkwkwk..

Aku pribadi, jujur sulit menerima aturan selama Ramadan ketika awal-awal diberlakukan, di mana spanduk bertuliskan ini itu mulai ditancapkan di sudut-sudut pagar untuk mengingatkan. Tapi aku berusaha terima. Termasuk ketika masjid dibuka hanya untuk beberapa hari, karena selanjutnya dipaksa tutup oleh polisi.

Sejak awal, aku dan keluargaku memilih untuk berjamaah salat tarawih dan subuh di rumah. Ibadah fardhu yang lain juga di rumah. Kadang aku juga salat di pendopo rumah joglo Kakungku yang letaknya masih di wilayah satu RT. Pendopo adalah bangunan yang pada keempat sisinya terbuka yang biasanya ada di pelataran rumah joglo (rumah adat Yogyakarta). Kebetulan salat tarawih pertamaku di pendopo itu. Hanya saja aku mengerjakannya secara munfarid (sendirian), sampai pada akhirnya aku ngeblank waktu mau mengucapkan doa:

أشهد أن لا اله الّا الله، استغفر الله، أسألك الجنّة، و أعوذبك من النار. اللهم إنك عفو تحبّ العفو فاعف عنّي

Hmm.. ketahuan kurang persiapan, padahal aku tidak sibuk meratapi yang harus pergi.

Bapakku paling merasakan dampaknya. Beliau biasa safari tarawih bersama anggota Ranting Muhammadiyah lainnya, menjadi imam atau khatib di masjid-masjid Muhammadiyah, lalu kali ini harus menjadi imam tarawih bagi keluarga sendiri. Yang artinya harus siap menerima request: ‘jangan yang panjang-panjang ya surahnya’, walaupun ia tak pernah memenuhinya. Lepas tarawih, Bapak punya project bikin lemari. Bisa terbayang, hampir setiap malam ada suara weeeng… weeeeng… dan di sela-selanya ada suara rekaman pengajian KH Zainuddin MZ. Yah, hitung-hitung sekalian ronda karena katanya banyak maling yang berkeliaran mencari mangsa.

Ramadan kali ini juga tidak ada acara ngabuburit yang modelnya ngumpul-ngumpul. Tidak ada ngabuburit di Kampung Ramadan Jogokaryan. Tidak ada ngabuburit di perempatan Klodran. Tidak ada ngabuburit di pesantren. Tidak ada ngabuburit di masjid bersama kawan-kawan dan anak-anak satu pedukuhan. Cuma kalau ke Jalan Ganjuran surganya camilan buka puasa, pasti terlihat abang-abang pisang ijo banyak pelanggannya. Hahaha.

Ngabuburitku kebanyakan di emperan rumah. Jualan menu berbuka (alhamdulillah), ikut menyimak acara Live Instagram, atau ikut mendengarkan rekaman kajian yang disetel dari ponsel Bapak. Btw, aku baru tahu kalau ponsel Bapak penuh dengan rekaman pengajian, juga rekaman-rekaman lain seperti rekaman saat Bapak berbincang dengan Ustadhah Isna waktu mengambil raporku (6 tahun lalu), dan rekaman saat Bapak mengikuti technical meeting di kecamatan (katanya ngantuk, jadi yang disampaikan narasumber direkam saja). Wkwkwk.

Kegiatan di luar selama Ramadan (selain bekerja) memang sangat terbatas, itu pun hanya melibatkan sedikit personil. Pintar-pintar saja mencari alternatif yang sesuai supaya tujuan tetap bisa terwujud. Kita dibatasi bukan berarti ide-ide kita dinonaktifkan, kok. Kita diuji seberapa tangkas dan tahan banting kita menghadapi pukulan zaman yang bertubi-tubi datangnya. Hidup anak muda!

Sudahlah. Aku tidak ingin menunjukkan apa lagi yang tiada dan bagaimana lagi aku harus menghadapinya. Yang jelas, sejauh ini aku sudah berusaha untuk memanfaatkan waktu Ramadan sebaik-baik mungkin, seperti yang dilakukan Muslim lain. (Aku harus berterima kasih kepada diriku karena semasa hidup aku pernah menjadi orang yang berusaha.) Aku tidak ingin meratapi yang harus kurelakan tiadanya karena pandemi ini, juga tidak ingin memaksa keadaan harus meniadakan batas-batas yang menghalangi detik ini juga. Aku belajar ikhlas dan percaya, bahwa yang kelihatannya sulit dan terbatas itu tidak selamanya tidak baik untuk manusia. Manusia terbatasi, tapi Kasih Tuhan yang tak terbatas masih bisa menebus batas-batas itu.

Tepat sekali, ini adalah hari terakhir puasa Ramadan 1441 H dan insya Allah besok Hari Raya tiba. Alhamdulillah. Dan terbukti sudah apa yang sebelumnya ada di alam mbatinku; 1) Pandemi berikut segala aturan yang ada bagaimanapun juga tak mampu menghalagi hadirnya bulan Ramadan. Dan memang tidak menjadi penghalang bagi kita untuk menunaikan ibadahnya. 2) Sesulit apapun keadaannya, kita tidak mampu mengubah rasa cinta kita  terhadap bulan Ramadan. Kita tetap enggan melepasnya ketika ia hendak meninggalkan, di saat kita masih merasa ingin banyak berdoa di malam-malam berkahnya. Semoga kita masih dipertemukan dengan Ramadan tahun depan dalam suasana yang lebih membahagiakan.

┏┓
┃┃╱╲ Allahu Akbar
┃╱╱╲╲ Allahu Akbar
╱╱╭╮╲╲ Allahu Akbar
▔▏┗┛▕▔
╱▔▔▔▔▔▔▔▔▔▔╲
takbiran di rumah saja
╱╱┏┳┓╭╮┏┳┓ ╲╲
▔▏┗┻┛┃┃┗┻┛▕▔

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa ilaha illa Allah, Allahu Akbar. Allahu Akbar wa lillahi al hamd.

Ramadan is leaving soon. Take care of your imaan.

2 thoughts on “Ramadan di Tengah Pandemi

Leave a comment