Pengalaman Menghadiri Upacara Adat Tradisi Wiwitan

Ini cerita pengalamanku menghadiri upacara adat tradisi wiwitan di Bulak Tani Harjo, Dusun Karanggede, pada awal September 2019 lalu.

Berbekal rasa keingintahuanku terhadap tradisi wiwitan dan alasan untuk menjalankan tugas sebagai reporter SID Gilangharjo, akhirnya aku memutuskan untuk datang. Dari informasi yang kudapat sebelumnya, acara ini digelar besar-besaran dan kelihatan menarik karena diiringi dengan pertunjukan seni. Pertunjukan seni tersebut melibatkan kaum muda dan Sanggar Laras Budaya Gilangharjo.

Benar. Setibanya di lokasi, kulihat warga sekitar sudah banyak yang datang. Tentu saja, Pemdes Gilangharjo dan Lumbung Kampung Mataraman yang menggelar acara ini, mengundang masyarakat umum untuk ikut menyaksikan acara tradisi wiwitan ini. Selain itu, di depan panggung sudah duduk tamu undangan juga awak media yang tak henti-hentinya memotret. Aku pikir, aku sudah terlambat mengikuti acaranya. Ternyata belum. Acara bahkan belum dimulai.

Aku berniat bergabung bersama warga yang menyaksikan dari samping panggung. Belum juga sampai, aku bertemu dengan Mas Ndaru (Kaur TU Kelurahan & Redaktur SID), yang kebetulan kami memang satu tim SID. Singkat cerita, aku sudah tergiring untuk mengisi buku tamu dan dipersilakan duduk di jajaran tamu undangan. “Tapi?” Aku sempat menolak, karena aku datang sebagai warga biasa yang lumrahnya ingin sekedar menyaksikan dari bawah pohon kelapa. Bisa mengambil gambar sambil bertanya dengan orang di sekitarku tentang makna wiwitan ini. Ada perasaan sedikit canggung dan semacamnya, walaupun sebuah kehormatan bagiku untuk bisa duduk di kursi tamu. Mungkin informasi yang aku dapat akan lebih banyak dan bervariasi. Dalam hitungan menit aku sudah berada di antara tamu undangan, bergabung dengan ibu-ibu KWT Lestari Makmur dari dusunku. Saat itu kusadari bahwa aku hadirin paling muda. Baiklah, ini sudah terlanjur. Aku memutuskan untuk tidak banyak menoleh.

Pak Supri, sang pejabat desa yang kali ini menjadi pembawa acara, mulai membuka pagelaran budaya ini dengan tutur bahasa Jawa-nya yang khas dan mumpuni. Aku sebetulnya tidak mengerti apa yang ia katakan lantaran bahasa Jawa yang digunakanyan sudah level tinggi. Walaupun begitu aku masih saja berusaha untuk mengerti.

Mengawali berlangsungnya upacara wiwitan adalah persembahan Tari Topeng Pengusir Hama. Seorang penari laki-laki berkostum putih yang diapit 4 orang berbusana Jawa duduk bersila di atas panggung. Di depan penari itu tergeletak topeng buto (raksasa). Ia mulai menangkupkan tangannya, seperti menyembah, sambil memejamkan mata. Kemudian salah seorang yang lain mulai menyanyikan tembang macapat (tembang Jawa). Suasana berubah menjadi sakral. Sebentar kemudian, si penari memakai topengnya. Kemudian keempatnya bangkit.

Sang penari mulai menari menuruni panggung, diiringi tiga orang yang memainkan musik bendhe (gong kecil). Karena tertarik, aku pun mengikuti jalannya penari itu. Ia menari menuju ke tengah sawah, menerobos tanaman padi sambil mengibaskan tangannya, seolah mengusir. Secara simbolis, ini diartikan sebagai upaya mengusir hama yang kerap kali merusak tanaman padi. Harapannya tanaman padi tidak pernah gagal panen dan hasilnya selalu melimpah. Aku terkesan sekali menyaksikan tarian ini dari pinggiran sawah.

Setelah itu, prosesi upacara adat tradisi wiwitan. Sekelompok ibu-ibu mengenakan pakaian adat Jawa dan caping. Bu Lurah Puji Astuti berada di depan menggendong tenggok atau bakul. Ditangannya membawa bambu menyerupai kentongan, yang apabila diguncang-guncangkan kita seolah akan mendengar bunyi tanda petani mengusir burung-burung yang mematuki padi. Ibu-ibu yang lain juga membawa bambu. Mereka membunyikannya tak henti-henti seiring langkah kaki mereka menuju tengah sawah.

Di tengah sawah sudah ada gubuk kecil tempat prosesi wiwitan berlangsung. Sayang sekali aku tidak bisa menyaksikan dan mengambil gambar dari arah dekat, karena setahuku hanya awak media saja yang bisa leluasa mengabadikan prosesi upacara itu. Yang kusaksikan hanyalah, ibu-ibu tadi terus membunyikan bambunya hingga prosesi selesai.

Lalu apa sebenarnya tradisi wiwitan itu? Singkatnya, wiwitan adalah ritual persembahan masyarakat pedesaan Jawa sebelum panen padi dilakukan, ditandai dengan memotong beberapa tangkai padi terlebih dahulu. Wiwit berarti mulai. Ritual ini dilakukan sebagai wujud terima kasih kepada bumi sebagai sedulur sikep (bumi dianggap sebagai saudara manusia yang harus dihormati dan dijaga kelestariannya untuk kehidupan).

Tradisi wiwitan yang sudah ada sejak sebelum agama-agama masuk ke tanah Jawa ini dilakukan di sawah dan dipimpin oleh mbah kaum. Mbah kaum memulai prosesi dengan berdoa, lalu dilanjutkan memotong sebagian padi sebagai tanda padi sudah siap dipanen.

Tetapi sebelum mbah kaum datang, petani sudah menyiapkan peralatan yang dipakai untuk tradisi wiwitan seperti kendil yang berisi air, ani-ani (alat untuk memetik padi), bunga mawar, menyan serta kain jarik untuk membungkus hasil padi yang sudah dipetik mbah kaum. Tradisi wiwitan ini dipercaya juga sebagai sarana masyarakat desa menjalin hubungan silaturahmi satu dengan yang lain.

Selesai upacara wiwitan, makanan yang disajikan seperti nasi gurih, ayam ingkung, kothok (sayur nangka), krupuk, sambel gepeng, telur, dan gudhangan akan dibagi-bagikan kepada masyarakat dan dimakan bersama.

Begitulah sedikit penjelasan tentang upacara adat tradisi wiwitan.

Wiwitan yang dilakukan masyarakat Gilangharjo ini disebut-sebut oleh Drs. H. Abdul Halim Muhlis, Wakil Bup ati Bantul yang juga diundang, sebagai tanda bahwa masyarakat desa adalah masyarakat yang religius.

Selepas upacara wiwitan dan semua kembali berkumpul di panggung, acara dilanjutkan dengan pertunjukan Tari Gambyong, kemudian sambutan-sambutan. Pertama dari Lurah Pardiyono sebagai tuan rumah, kemudian dilanjutkan Wabup Bantul, Drs. H. Abdul Halim Muhlis.

Kemudian selanjutnya pertunjukan kesenian Gejok Lesung. Sebelumnya aku sudah begitu familiar dengan nama kesenian yang satu ini, tapi sekalipun belum pernah menontonnya. Ternyata Gejok Lesung adalah pertunjukan musik dari lesung yang dipukul bertalu-talu oleh mbah-mbah tani menggunakan alu (penumbuk padi dari kayu yang panjang). Alunan alu yang ritmis mengiringi tiga orang sinden yang menyanyikan tembang Jawa, salah satunya adalah tembang Gugur Gunung. Aku sempat tertawa melihatnya, karena ada seorang simbah yang memukul lesung dengan sangat bersemangat. Memang, para wanita tani sangat tangguh dan tahan banting.

Selepas itu, adalah pertunjukan Sendratari Boyong Dewi Sri yang diperankan oleh Sanggar Laras Budaya Gilangharjo. Dari namanya kita pasti sudah bisa menebak, bahwa sendratari ini menceritakan kehidupan masyarakat tani yang tidak bisa terlepas dari peran Dewi Sri, Sang Dewi Padi. Memboyongnya berarti menjemput rezeki berupa panen padi yang melimpah, agar rakyat sejahtera dan makmur kerta raharja.

Sambil menyaksikan sendratari itu dan sebagai acara paripurna, masing-masing kami diberi takir sega wiwit. Takir adalah wadah nasi dari daun pisang yang dijepit dengan lidi pada kedua ujungnya. Di dalamnya ada nasi, sambel gepeng (sambal kedelai dan teri), kothok (sayur keluwih), telur separo, dan gudhangan (sayur rebus dengan bumbu parutan kelapa). Sajian tradisional ini sangat enak. Namun karena takirnya cukup besar, aku tidak sanggup menghabiskan semuanya. Tapi tentu saja aku tidak lupa mengabadikan fotonya sebagai kenangan dan dokumentasi.

Acara ini menarik, bukan? Rasanya senang sekali bisa menyaksikan upacara adat ini. Desa Budaya Gilangharjo memang selalu menunjukkan eksistensinya dalam upaya mengunggulkan kearifan lokal di tengah zaman modern ini. Dari acara-acaranya, aku mendapatkan pengalaman dan pengetahuan baru yang bisa kutulis untuk website desa dan kubagikan di sini. Jika musim panen selanjutnya digelar upacara wiwitan kembali, aku ingin bisa datang lagi.

Sekian. Semoga bermanfaat.

2 thoughts on “Pengalaman Menghadiri Upacara Adat Tradisi Wiwitan

Leave a comment